Letyzia Taufani
Mahasiswa S3 Universitas La Rochelle, Perancis CRHIA (Le Centre de Recherches Histoire Internationale et Atlantique)
Jumat tanggal 13 Mei, 2020 jam 20:00 waktu Perancis, Pemerintah Perancis mengumumkan bahwa sekolahan dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi diliburkan untuk mencegah penyebaran virus Covid-19 yang telah memakan banyak korban.
Empat hari kemudian, ada pengumuman yang mengejutkan bagi semua warga Perancis, bahwa Perancis melaksanakan lockdown total selama dua minggu. Kami yang tinggal di Perancis diharapkan untuk tidak keluar dari rumah kecuali urusan darurat.
Saya yang tidak ada satu minggu baru balik dari Pakistan dan masih letih dari perjalanan menelusuri pelosok kota dan pedesaan negara Mohammad Ali Jinnah tentu kaget atas pemberitaan tersebut. Virus Covid-19 yang saya pikir hanya melanda jauh dari dimana kita berada ternyata sudah dekat dan sudah berada di daratan Eropa, khususnya Perancis.
Telepon pun berdering dan lini masa sosial media pun dipenuhi dengan orang-orang yang kebingungan atas apa yang terjadi, lockdown karena virus. Saya bersyukur, karena saya tinggal di sebuah daerah yang warganya termasuk mempunyai jiwa sosial yang tinggi.
Solidaritas
Lini masa di media sosial untuk satu kampung pun dipenuhi dengan tawaran untuk mengantarkan panganan pokok bagi mereka-mereka yang rentan dan terisolir. Contohnya, mereka yang sudah lanjut usia, orang-orang difabel, orang yang berkebutuhan khusus bahkan orang tua tunggal yang tidak bisa meninggalkan anak-anak mereka dirumah untuk berbelanja.
Ada juga yang membantu para “sans abri” (orang-orang yang tidak punya tempat tinggal) dengan cara membagikan bungkusan sandwich makanan setiap hari. Sampai ada yang menawarkan untuk mengantarkan masker bagi mereka yang membutuhkan.
Kami saling berbagi informasi atas hak kami selama lockdown dan membantu sesama memberi dukungan moral, bahkan ada yang mengajak warga secara “live” untuk berolahraga setiap hari. Selama hampir satu dekade saya tinggal di negara Napoleon ini, urusan tentang spiritualitas, keimanan dan agama adalah hal yang sangat pribadi.
Bahkan menjadi subjek yang kontroversial untuk dibahas dalam keseharian. Mengingat betapa sulitnya menjadi muslim di Perancis ini, sehingga orang-orang lain yang berbeda agamapun akhirnya juga kena dampaknya; mereka enggan memperlihatkan sisi keimanan atau ketuhanannya.
Kejadian Covid-19 yang ternyata memakan banyak korban di Perancis ini, dalam kurun waktu dua bulan, sejak Perancis menerapkan lockdown, sudah 28,000 manusia lebih yang telah meregangkan nyawanya akibat Covid-19. Bagi warga Perancis seperti warga yang di Indonesia maupun negara-negara lainnya yang terkena covid-19, merekapun terkejut dan kecemasanpun melanda.
Banyak yang kecemasan karena tiba-tiba aktivitas sehari-hari berhenti. Selama masa lockdown, orang-orang mencoba memberi support dengan menyanyikan lagu kebangsaaan dan bertepuk tangan setiap malam tepatnya jam 20:00.
Coronavirus Anxiety
Walaupun ada gerakan solidaritas dan support, namun masih banyak yang merasa terisolir dan merasa tidak berdaya atas situasi pandemi ini. Selama masa lockdown, ada satu teman menceritakan pengalamannya untuk mencoba merasionalisasikan pandemi Covid-19 ini dan ketakutannya terhadap sesuatu hal yang dia tidak pahami.
Dalam kesendiriannya, dia yang sama sekali tidak memperlihatkan dirinya sebagai orang yang mempunyai keimanan bahkan memegang nilai spiritualitas. Pandemi Covid-19 ini menggugah rasa keimanannya bahkan rasa ketuhanannya. Teman saya mulai berdoa kepada Tuhan untuk keselamatan.
Rasa ketidakkuasaan seorang untuk bisa menalarkan ketakutan tentang “unknown” membuat dirinya berserah kepada Tuhan, sebuah “coping mechanism”. Dia menceritakan, dalam kepanikannya sempat jantungnya berdebar hebat dan tidak bisa tidur. Sehingga pada masa lockdown dia harus pergi ke dokter karena sudah berhari-hari dia tidak kunjung bisa mengatasi permasalahan ini.
Dokternya pun memvonis dirinya sedang mengalami “anxiety attack”. Pada masa pandemi Covid-19, ternyata dia tidak satu-satunya yang mengalami “anxiety attack”. Akhirnya muncul-lah terminologi baru, yaitu “Coronavirus anxiety” untuk menjelaskan orang-orang yang mengalami gejala kecemasan karena pandemi ini.
Berbagai carapun ia tempuh, termasuk mendengarkan musik yang bersifat membantu menenangkan dirinya. Ternyata itu tidak cukup, maka dia mencoba untuk berdoa. Walaupun dirinya bukan termasuk orang yang terlihat religius, ternyata dengan berdoa dia mendapatkan suatu ketenangan yang dia tidak dapatkan sebelumnya.
Kecemasan-kecemasan dalam kesendiriannya terisolasi selama dua bulan, dia mencoba mengatasinya lewat doa. Untuk pertama kalinya pada masa lockdown ini, dia merasakan suasana yang semakin membuat hatinya tenang. Yang beberapa waktu lalu sempat berkecamuk dengan panik dan takut atas ketidakpastian demi mencari secercah harapan di tengah pandemi Covid-19.
Berdoa untuk mengurangi rasa “Coronavirus anxiety” adalah salah satu sarana secara psikologis untuk membantu menjaga keseimbangan mental dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini, entah kapan. Terlebih, ketika rasa keimanan dan ketuhanan meningkat melalui berbagai bentuk ibadah dan doa, tubuh merespon dengan menurunnya rasa kecemasan yang muncul karena pandemi Covid-19.
Doa dan Ketentraman
Dalam artikel yang ditulis oleh Nicole Spector yang berjudul This is Your Brain on Prayer and Meditation menyebutkan, bahwa ketika kita berdoa atau bermeditasi ada jenis-jenis “happy” hormon yang terpicu dan membantu menenangkan kita. Misalnya, dopamin, serotonin, endorphine, dan masih banyak lagi.
Terlebih, menurut Bernard Spilka and Kevin L. Ladd dalam buku The Psychology of Prayer: A Scientific Approach, bahwa “berdoa itu cenderung mengaktivasikan bagian alam bawah sadar yang menstimulasi dan mendorong alam sadar untuk muncul dan memberi respon”.
Seperti yang telah dilakukan oleh teman saya tadi dalam mengatasi kecemasannya pada situasi yang tidak menentu ini. Dengan berdoa dia telah mengakses alam bawah sadar untuk mengatasi kecemasannya dan memicu hormon-hormon penenang seperti dopamin dan serotonin.
Fenomena meningkatnya rasa keimanan dan ketuhanan saat ini tidaklah mengherankan. Menurut surat kabar online Catholicphilly.com dalam artikel yang berjudul “In Italy, signs of rise in prayer, religious fervor amid pandemic”, melaporkan tentang riset yang telah dilakukan oleh State University of Milan pada masa lockdown di Italia tentang hubungan Covid-19 dan perilaku religius penduduk Italia telah meningkat.
Dari 4,600 umat Katolik yang di interview antara tanggal 20 April sampai 15 Mei, menunjukkan adanya peningkatan sebesar 11% dalam aktivitas berdoa di keseharian. Baik itu dari mereka yang menganggap dirinya orang yang jarang atau bahkan tidak pernah ke gereja. Terlebih lagi aktivitas berdoa ini cenderung dilakukan oleh orang-orang yang keluarganya terjangkit virus Covid-19.
Meningkatnya Keimanan
Kebangkitan dalam rasa keimanan dan ketuhanan inipun tidak hanya dirasakan oleh umat Katolik saja, melainkan juga oleh umat beragama yang lainnya, seperti umat Kristen di Amerika. Para Pastor dari berbagai denominasi merasakan peningkatan jumlah umat yang mengikuti misa online.
Hal tersebut dapat dilihat sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Professor Diane Winston dari University of South Carolina dalam surat kabar online milik universitas. Di India, di mana umat Hindu adalah mayoritas, doa dan dzikir bahkan drama yang bernuansa religius setiap hari di tayangkan di televisi nasional. Hal ini sebagaimana yang telah dilaporkan oleh Aarti Betigeri dalam surat kabar online The Interpreter.
Sempat juga pada tanggal 15 Februari sebelum Jerusalem mengalami lockdown, umat Yahudi berbondong-bondong berkumpul di Tembok Barat untuk berdoa bersama memohon keselamatan (Jewish News Syndicate). Umat Yahudi ada juga yang berpindah ke media online untuk mengakses dan berdoa di Tembok Barat secara virtual.
Dalai Lama mengadakan dakwah online di situs internet beliau, dalailama.com/live, secara regular demi memberi siraman kerohanian bagi umat Budha. Bagi umat Islam datangnya bulan Ramadan bagi para muslimin dan muslimah adalah waktu yang ideal untuk meningkatkan rasa keimanan dan ketuhanan mereka.
Rasa keimanan dan ketuhanan yang meningkat di dalam situasi pandemi Covid-19 ini tidaklah mengherankan. Seperti yang diucapkan oleh Dr. Paul Hokemeyer seorang therapis yang dikutip dalam artikel “This is your brain on prayer and meditation”. Karena secara psikologis kita bisa berpindah menjauh dari rasa ketakutan, stres, dan panik melalui kesadaran yang untuk mencari solusi. Yang memicu bagian dari tubuh kita, seperti otak untuk mengambil keputusan yang tepat dan mengeluarkan hormon-hormon yang bersifat menenangkan jiwa dan raga.
Maka, dalam pandemi Covid-19 ini, sudah semsetinya bertindak secara tepat dengan anjuran yang telah ditentukan, seperti social distancing, memakai masker, dan bahkan lockdown. Selain itu, kita butuh berdoa dan meningkatkan rasa keimanan dan ketuhanan kita atas kejadian yang diluar kendali saat ini demi mengurangi rasa kecemasan yang disebut “Coronavirus anxiety”.
Mengutip dari Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam, “berbaik sangka itu tidak hanya pada sesama. Tetapi juga pada Allah. Inilah ciri orang beriman, yang selalu meyakini setiap cobaan, musibah, dan derita yang menimpa tiada lain peringatan dan ujian dari-Nya”. Salah satu hikmah yang bisa dipetik dari pandemi Covid-19 ini adalah kita berbondong-bondong mendekat kepada Sang Pencipta melakukan ikhtiar dan doa.
Sumber Buku JIB: Wajah Kemanusiaan di Tengah Wabah (2020)
Penyunting: Nirwansyah