Inilah pertemuan kebangsaan Cak Nun dan PDI Perjuangan yang bermodalkan saling percaya sebagai sesama anak bangsa
Yayan Sopyani Al Hadi
Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi); kader Marhaenis Muhammadiyah (Marmud)
Indonesia beruntung memiliki sosok-sosok dan institusi yang melintas batas. Di antara sosok itu adalah Emha Ainun Najib. Cak Nun, demikian ia disapa, tak bisa dikurung oleh defenisi apa pun. Cak Nun adalah kyai, budayawan, seniman, intelektual, penulis produktif atau apa saja, termasuk warga negara Indonesia biasa. Cak Nun sosok dzu wujuh: memiliki banyak wajah.
Tak heran, Kyai Mbeling asal Jombang itu bisa menjadi apa saja dalam pergulatan kehidupan keindonesian dan kemanusiaan. Cak Nun sudah lepas dari baju apa pun yang bersifat primordialistik. Ia adalah seorang manusia hamba Tuhan, tanpa mau dilekatkan embel-embel apa pun.
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, Cak Nun juga dikenal sebagai seorang kritikus tajam. Ia akan bicara lantang—atau menulis tajam—pada setiap realitas sosial yang dinilai tak sesuai dengan yang seharusnya (atau minimal yang tak sesuai dengan pikiran dan perasaanya). Bahkan, ia juga bergulat dan bergelut di alam nyata kehidupan, setiap hari.
Namun, bukan Cak Nun bila asal kritik—selain karena Ia telah mengalami proses permenungan dan cinta yang mendalam atau juga karena gesekan riil di tengah masyarakat—Cak Nun juga sangat memahami realitas yang selalu ada. Cak Nun adalah sosok yang empati pada jenis dan kondisi manusia jenis apa pun.
Karena itu, Cak Nun bisa bercengkrama dengan siapa pun—termasuk yang sudah dikasih catatan olehnya. Ia juga bisa manerima siapa saja, termasuk mereka yang salah pandang atau pernah menilai sinis padanya. Dalam bahasa Gus Dur, Cak Nun bukanlah hamba amatiran yang sangat tergantung pada penilaian baik-buruk orang lain.
Cak Nun bisa merangkul siapa pun dalam pelukan empati penuh kehangatan, atau menjadi orang yang sangat berjarak dengan pihak mana pun—yang bisa jadi oleh orang yang tak paham bisa dianggap sebagai ketegangan. Tentu saja jarak sangat penting, sebab tanpa jarak, sebagaimana kata Cak Nun sendiri, kita bahkan tak bisa melihat apa pun dengan benar.
Di bulan ramadan ini, Cak Nun—yang kultural itu—akan bersua dengan infrastruktur politik yang paling dipercaya oleh rakyat: PDI Perjuangan. Kepercayaan rakyat ini tergambar dari realitas kemenangan dua kali pemilu berturut-turut dan hasil beragam lembaga survei yang selalu teratas hingga kini. Maka ramadlan tahun ini, dengan pertemuan tersebut, bukan semata menjadi alas pengalaman irfan bagi sebagian orang, namun juga menjadi momentum spiritualitas bagi kebangsaan Indonesia.
Di sebuah panggung yang disiapkan, Cak Nun akan—meninjam bahasa anak muda milenial—kolaborasi dalam sinau bareng. Tempat sinau bareng ini pun sangat bersejarah: halaman masjid At-Taufiq sekolah DPP PDI Perjuangan. Sebuah masjid yang diinisiasi dan dibangun Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani sebagai persembahan untuk sang ayah Pak Taufiq Kiemas, yang juga sama-sama sosok yang melintas batas dan di antara negarawan yang dimiliki Republik di era kontemporer.
Di Indonesia, dengan kehadiaran masjid ini, PDI Perjuangan, yang sering kali disalahpahami, justru merupakan satu-satunya partai yang memiliki masjid besar, megah dan indah bernuansa khas Nusantara. Bahkan, di kantor DPP PDI Perjuangan di Jalan Diponegoro pula selama bertahun-tahun sudah dilaksanakan ibadah shalat Jum’at, yang salah satu jamaah setianya adalah Duta Besar Palestina Zuhair al-Shun yang memang berkantor tak jauh.
Bagi PDI Perjuangan, sebagai rumah besar kebangsaan, tentu saja kolaborasi dengan siapa pun bukanlah narasi populis minus aksi. Bukan pula tindakan yang miskin narasi. Kolaborasi ini jelas manifestasi dari Gotong-Royong. Kata Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, kolaborasi adalah kunci menuju Indonesia maju dan hebat.
PDI Perjuangan, yang berideologi Pancasila 1 Juni 1945 tentu saja tak kurang narasi terkait dengan basis ideologis ini. Secara praksis, narasi ini menjadi tindakan dalam kehidupan politik sehari-hari. Tak heran, PDI Perjuangan adalah partai yang sangat konsisten dalam menjaga keragaman dan siap bekerja sama dalam kebinekaan. Sebab, Indonesia yang diwariskan para pendiri bangsa ini tak mungkin dikelola oleh satu kelompok atau golongan. Karena negara ini, sebagaimana kata Bung Karno: satu untuk semua, semua untuk satu.
Sinau ini tentu saja menjadi sejarah tinta emas dari sebuah pertemuan panjang. Cak Nun dan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Ibu Hajah Megawati Soekarnoputeri adalah sama-sama pejuang demokrasi yang bersuara lantang di tengah bandul kepemimpinan bangsa yang berada di bawah otoritarianisme. Keduanya kemudian memilih jalan juang masih-masing untuk mengawal konsolidasi demokrasi: kultural dan struktural. Namun, keduanya senantiasa dipersatukan oleh tarikan nafas yang sama, untuk senantiasa tertawa dan menangis bersama rakyat.
Dipastikan sinau yang akan dilaksanakan Minggu malam (10/04/2022) di bulan suci ramadan, setelah shalat tarawih ini, akan menjadi pertemuan romantis antara Cak Nun dan PDI Perjuangan. PDI Perjuangan dan Cak Nun akan-sama membentang sajadah cinta bertabur bunga: dalam bahasa rakyat yang sederhana, dalam guyonan yang mesra atau dalam iringan musik yang merdu.
Inilah pertemuan kebangsaan Cak Nun dan PDI Perjuangan yang bermodalkan saling percaya sebagai sesama anak bangsa. Dan sebagaimana kata Coleman dan Uslaner, tanpa kepercayaan tidak akan ada modal sosial lain yang bisa diproduksi. Dan malam nanti adalah malam kepercayaan di antara para negarawan untuk terus bersama-sama membangun Indonesia.