Amiruddin al-Rahab
(Wakil Ketua Komnas HAM-RI)
Ditolaknya pemakaman jenazah orang yang menjadi korban virus korona oleh sekelompok masyarakat di beberapa daerah menunjukan adanya gejala kepanikan dan sikap histeris. Sikap sekelompok orang itu, tentu tidak patut dan tidak manusiawi. Namun penolakan itu menunjukan adanya sauatu gejala sosial kemasyarakatan di tengah wabah corona ini yang perlu dipahami bersama, terutama oleh para pejabat pembuat kebijakan dan pejabat kepolisian.
Kepanikan mudah menjalar, ia menjalar secepat virus corona itu berjangkit. Entah dari daerah mana kepanikan itu bermula, yang jelas penolakan pemakaman jenazah korban covid-19 oleh sekelompok orang muncul mulai dari Banyumas, Jateng, Gowa dan Makasar di Sulsel sampai Sidoarjo, Jatim. Di Sumedang, Jawa Barat juga terjadi. Medan dan Lampung di Sumatera pun ikut serta. Tak ketinggalan pula di daerah seputaran Jakarta yaitu Depok dan Bogor.
Seorang sejarawan sosial Indonesia, Ong Hok Ham dalam Wahyu Yang Hilang, Negeri Yang Guncang (2019) mencatat mudah panik adalah memang sifat masyarakat nusantara. Sifat itu mudah muncul karena masyarakat Nusantara sejak era kolonial sampai era Orba selalu mengalami guncangan yang tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk bisa mencerna persoalan apa sesunguhnya yang sedang terjadi. Lebih jauh Ong Hok Ham menjelaskan kepanikan sesunguhnya adalah cerminan dari krisis, baik cerminan dari krisis yang berdampak ekonomi, mau pun yang berdimensi politik. Dalam situasi krisis biasanya desas-desus, rumor atau hoax merajalela dan mudah mementuk kesadaran massa rakyat.
Terkait dengan penyebaran virus corona ini, mungkin bisa kita katakan yang terjadi adalah krisis kepercayaan terhadap informasi resmi tentang penjalaran pandemi Corona itu sendiri. Virus telah berjangkit sejak akhir tahun 2019 di Wuhan, Cina. Namun hampir dua bulan lamanya pernyataan-pernyataan pejabat pemerintah Indonesia yang dilansir oleh media seakan-akan meremehkan gejala pandemic corona itu. Namun media massa online, cetak, televisi bahkan media sosial menyajikan saban hari jumlah korban yang terjangkit mau pun yang meninggal di manca negara. Ketika informasi yang jernih tentang corona dari otoritas kesehatan Indonesia belum ada, maka semua informasi mengenai corona yang horor itu, kapasitas khalayak umum untuk mencerna informasi itu tidak cukup.
Ketika pemerintah memutuskan mulai bersikap serius atas penyebaran virus di pertengahan bulan Maret 2020, rasa percaya di tegah masyarakat tidak mudah lagi diraih. Implikasinya segala macam keterangan resmi seperti membentur tembok. Kalah oleh kehawatiran yang terus menjalar. Masyarakat jalan dengan keyakinannya sendiri, yang kemungkinan besar dibentuk oleh ketidaktahuan, kejengkelan bahkan bisa oleh sikap amarah. Karena merasa dibiarkan bertarung sendirian. Bisa dikatakan krisis kepercayaan telah muncul, menjalar perlahan di tengah masyarakat. Jika istilah sosiolog James Scot kita pakai, maka menolak penguburan jenazah adalah bahasa yang dipakai oleh mereka yang lemah (weapon of the weak) untuk berbicara kepada pemerintah tentang ketakutan mereka atas wabah corona ini.
Keseriusan pemerintah untuk menangani penyebaran Covid-19, kini tidak saja berhadapan dengan dampak perekonomiannya, tetapi juga berhadapan dengan krisis kepercayaan dari masyarakat. Oleh karena itu langkah-langkah pemerintah perlu diambil dalam rangka mengembalikan kepercayaan publik bahwa pemerintah bisa menghadapai semua persolan yang ditimbulkan oleh pandemik covid-19.
Pertama diperlukan langkah untuk penyebaran informasi secara masif dengan segala jenis media dan terus menerus tentang cara-cara penularan virus korona dan cara-cara menghindarinya. Perlu dipastikan tersedia informasi yang massif bahwa jenazah terinfeksi virus Korona jika telah ditangani sesuai prosedur kesehatan oleh tenaga medis tidak lagi bisa menyebarkan virus. Meski pun berlomba dengan hoax, langkah penyebaran informasi yang sahih dan mudah dimengerti oleh khayak ramai harus dilakuan oleh semua unsur pemerintah dengan mengandeng ormas-ormas, tokoh masyarakat dan agama yang ada.
Kedua, untuk meminimalisir kepanikan dan kekhawatiran masyarakat, unsur-unsur pemerintah, terutama yang terkait dengan otoritas kesehatan harus lebih banyak tampil menjelaskan kepada publik mengenai kesiapan fasilitas kesehatan bagi siapa saja yang terjangkit virus korona. Para Gubernur, Bupati dan Wali Kota perlu tampil terdepan untuk menyakinakan masyarakat bahwa pemerintah hadir untuk memastikan harapan perbaikan situasi tetap ada. Serta juga diperlukan adanya informasi yang jelas mengenai jaminan biaya untuk perawatan jika seseorang menjadi pasien terjangkit virus.
Saya rasa kepanikan dan kekhawatiran memuncak sedemikian rupa terbentuk akibat dari terus-menerus munculnya informasi mengenai kekurangan sarana-prasarana kesehatan, mulai dari APD bagi tenaga kesehatan, Rumah Sakit yang menolak pasien dengan gejala terinveksi virus karena ruangan tidak tersedia, sampai pada obat yang belum ada. Di sisi lain masyarakat yang sedang kehilangan pendapatan karena melambatnya aktifitas perekonomian, merasa akan sangat terbebani biaya perawatan jika terinfeksi dan diisolasi di rumah sakit.
Ketiga, Polisi perlu mengambil peran yang lebih besar dalam menjaga ketertiban masyarakat dalam situasi panik seperti saat ini. Bagaimana pun polisi sebagai penjaga ketertiban bisa menjangkau masyarakat lebih luas untuk memberikan penyadaran hukum. Pasal 178 UU KUHP telah mengatur bahwa orang yang dengan sengaja merintangi atau menghalang-halangi jalan masuk atau pengangkutan mayat ke kuburan yang diizinkan diancam dengan pidana. Artinya masyarakat luas harus diberi pemahaman bahwa melakukan aksi penolakan pemakaman terhadap jenazah di tempat yang sudah semestinya adalah perbuatan melawan hukum.
Meski pun demikian, polisi tentu tidak bisa gegabah melangkah dalam menangani aksi-aksi penolakan pemakaman jenazah ini. Polisi perlu mengambil langkah persuasif dalam rangka pemolisian masyarakat. Artinya anggota-anggota polisi perlu melakukan patroli dan komunikasi intens dengan tokoh-tokoh komunitas di wilayah-wilayah. Polsek-polsek bisa menjadi ujung tombak untuk langkah itu. Maklumat Kapolri dan perintah harian Kapolri telah cukup menjadi pedoman bagi satuan-satuan dan anggota Polri yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Intinya adalah ketertiban umum dalam situasi panik seperti ini harus tetap bisa dipertahankan demi mencegah prilaku panik menjadi tindakan massa yang tidak terkendali.
Agar aksi-aksi penolakan pemakaman jenazah ini tidak membiak kian luas, sudah saatnya solidaritas dibangkitkan dan diperkuat untuk saling mendukung. Sesunguhnya hak asasi manusia akan terjaga jika kita sebagai masyarakat bisa bersolidaritas dan menghargai jerih payah para tenaga medis yang telah mewakili kita mengurus para korban covid ini. Beri lah kesempatan dan ruang yang cukup bagi tenaga medis yang mengurus pemakaman jenazah korban corona di mana pun di seantero RI ini. Mari bersama-sama kedepankan rasa kemanusian.
Sumber Buku JIB: Wajah Kemanusiaan di Tengah Wabah (2020)
Penyunting: Nirwansyah