Muhamad Bukhari Muslim
Kader IMM Ushuluddin, Cabang Ciputat
Tidak lama lagi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Ushuluddin akan menggelar kegiatan Musyawarah Komisariat (Musykom). Sebuah agenda yang merupakan rutinitas komisariat setiap tahunnya. Besar kemungkinan agenda tersebut akan diadakan setelah kegiatan Musyawarah Cabang (Musycab) IMM Cabang Ciputat selesai.
Sebagai momentum pergantian pimpinan, tentu kita berharap agar pimpinan yang terpilih nanti dapat membawa ide-ide baru dan ide-ide yang lebih segar. Pimpinan yang terpilih nanti diharapkan mampu membawa komisariat ke arah yang lebih baik dari pimpinan sebelumnya. Atau yang dalam bahasa ushul fikih disebut “al-muhafadzatu ala al-qadim as-shalih, wal akhzu bi al-jadid al-aslah”. Yakni menjaga warisan lama yang baik dan mengambil gagasan baru yang lebih baik.
Dalam pada itu, sebagai kader IMM Ushuluddin, saya memiliki beban dan tergerak untuk turut memberikan tawaran untuk yang nanti akan menjadi pimpinan komisariat. Salah satu yang menjadi tawaran saya adalah meneguhkan identitas “muslim kritis” bagi IMM Ushuluddin.
Identitas IMM Ushuluddin
Kader IMM Ushuluddin tentunya sudah tidak asing lagi dengan narasi “muslim kritis”. Terutama setelah diterbitkan dan di-launching-nya buku kumpulan tulisan kader IMM Ushuluddin kemarin. Buku itu mengambil kalimat “Menjadi Muslim Kritis” sebagai judulnya. Pemilihan judul itu tentu bukanlah hal yang sembarangan. Ia lahir sebagai keputusan setelah melalui proses dialog yang cukup panjang.
Salah satu alasan yang menjadi pertimbangan dalam memilih judul tersebut adalah alasan teologis dan historis (sejarah). Secara teologis, kader IMM Ushuluddin menerima ajaran-ajaran Islam di UIN Jakarta yang memungkinkan mereka untuk berislam atau menjadi muslim kritis. Sebagai kampus yang moderat dan berkemajuan, UIN Jakarta menawarkan kepada para mahasiswanya cara pandang keislaman yang moderat dan progresif. Sehingga tidak heran jika kemudian mahasiswa-mahasiswanya tampil sebagai mahasiswa muslim yang kritis.
Sedangkan alasan historis atau sejarah yang menjadi pertimbangan dipilihnya judul di atas adalah karakter atau identitas dari IMM Ushuluddin itu sendiri. Dalam rentang perjalanan sejarahnya yang panjang, IMM Ushuluddin telah menelurkan banyak sekali alumni yang tampil sebagai pemikir Islam kritis. Sebut saja di antaranya Prof. Din Syamsuddin (Ketum PP Muhammadiyah 2005-2015) dan Prof. Ahmad Najib Burhani (Peneliti Senior LIPI).
Jadi, walaupun narasi “muslim kritis” ini baru muncul belakangan, secara subtansi ia telah lama diajarkan dan ditanamkan pada diri kader IMM Ushuluddin. Ajaran-ajaran keagamaan yang diterima kader IMM Ushuluddin tidak pernah mengajarkan mereka untuk bersifat tertutup, melainkan sebaliknya, yakni selalu menuntun mereka untuk bersikap terbuka. Kader IMM Ushuluddin diajarkan bagaimana menerima perbedaan pendapat dan menganalisis pendapat yang ada. Tidak langsung menerima. Akan tetapi menelaahnya terlebih dahulu.
Menjadi Muslim Kritis
Kader IMM Ushuluddin pada hakikatnya telah memiliki bekal yang amat sangat cukup untuk menjadi muslim kritis. Hal itu bisa dilihat dari kualitas dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, pemahaman yang diajarkan dan wawasan yang mereka dapatkan dari diskusi IMM Ushuluddin.
Dalam kasus dosen misalnya. Dosen di Fakultas Ushuluddin memiliki sifat yang tidak seragam. Dosen Fakultas Ushuluddin merupakan alumni dari berbagai kampus dengan kultur dan latar belakang yang berbeda. Ada yang dari Madinah, ada yang dari Iran, ada yang dari Mesir dan ada yang merupakan alumni kampus-kampus di Barat.
Sudah barang tentu, dengan beragamnya latar belakang dosen tersebut, kader IMM Ushuluddin kaya akan perspektif keislaman. Mereka tidak akan mudah kaget ketika mendengar pendapat atau pemikiran yang baru. Dan itu adalah sebenar-benarnya syarat untuk menjadi muslim kritis.
Kalaupun ada syarat yang lain, maka syarat itu adalah beberapa poin berikut: Pertama, memiliki wawasan yang luas. Ini adalah syarat yang peling utama. Seorang muslim akan sangat tidak mungkin mampu berpikir kritis jika tidak memiliki wawasan yang luas. Karena dari mana mereka dapat menilai suatu pendapat atau pemikiran itu benar atau salah, jika tidak dari pengetahuan yang luas.
Syarat kedua adalah bersikap moderat. Wawasan yang luas pada akhirnya akan mengantarkan seorang muslim pada sikap yang moderat dalam ber-Islam. Bersikap moderat artinya tidak terjebak pada dua arus pemikiran ekstrem, yakni radikal dan liberal. Kader IMM harus mampu bersikap bijak dan memposisikan dirinya berada di tengah-tengah.
Kemudian syarat yang ketiga adalah selalu berpikir ke depan. Kader IMM tidak boleh berpikir ke belakang. Kader IMM tidak boleh lagi larut dalam perbdebatan mana yang benar, qunut atau tidak qunut. Cara pandang keislamannya harus mengarah ke depan dan sudah harus berpikir bagaimana membangun peradaban dengan nilai-nilai yang maju dalam Islam.
Meneguhkan Identitas Muslim Kritis
Kesemua hal di atas adalah syarat mutlak bagi kader-kader IMM Ushuluddin untuk dapat menjadi muslim kritis. Kader IMM Ushuluddin harus berwawasan luas, bersikap moderat dan memiliki cara pandang yang maju ke depan. Tidak boleh mundur ke belakang.
Sebagai identitas yang telah melekat, mendarah dan mendaging pada IMM Ushuluddin, tentu bukan perkara sulit untuk meneguhkan narasi “muslim kritis” sebagai identitas kader IMM Ushuluddin. Tinggal yang dibutuhkan kemudian ialah komitmen dari para pimpinan yang terpilih nantinya untuk terus menanamkan dan mengingatkan para kader akan identitas ini.
Terakhir, sebagai seorang kader biasa di IMM Ushuluddin, saya berharap agar agenda Musykom IMM Ushuluddin yang akan datang mampu melahirkan program-program yang baru dan gebrakan-gebrakan yang lebih berani!
IMM! Jaya!