Refleksi 75 Tahun Kemerdekaan RI
Amiruddin al-Rahab
(Wakil Ketua Komnas HAM-RI)
Setiap Kamis menjelang sore puluhan ibu-ibu berpayung hitam berjajar di seberang istana Negara. Wajah-wajah tua yang memendam beban di hati, tak mengenal lelah. Keadilan. Itu lah nan mereka suarakan.
Semua ibu-ibu dengan beberapa orang muda menemaninya setia berdiri saban Kamis di seberang istana negara itu mungkin wajah kemerdekaan yang muram. Bisa jadi rasa yang dipendam oleh semua ibu-ibu itu himpunan dari seluruh rasa yang ditanggung ibu-ibu se-Nusantara karena keadilan belum pernah hadir ke rumahnya.
Rupanya kemerdekaan yang telah berusia 75 tahun ini belum mampu memerdekakan setiap hati publik di Republik ini. Bukan kah Republik Indonesia ini diproklamirkan oleh para pendirinya dengan tujuan keadilan bisa mengetuk pintu setiap rumah dari Sabang sampai Merauke?
Jika masih ada ibu-ibu merasakan ketidakadilan karena anak-anaknya dirampas dan hilang begitu saja, atau anak-anaknya tewas ditembak tanpa pernah terang siapa pelakunya, atau tanah terampas begitu saja tanpa ditanya. Rasanya kok berteriak merdeka terasa hambar?
Coba lah telusuri semua dokumen atau risalah yang merekam seluruh jejak pemikiran dan kehendak para pendiri republik ini. Bisa dipastikan, yang ditemui adalah kemerdekaan Indonesia ditujukan demi dan untuk kemanusian.
Sesunguhnya proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah proklamasi nilai-nilai kemanusian. Mengapa demikian? Sebab, kemerdekaan itu menjadi jembatan emas kata Sukarno, karena membawa manusia-manusia yang terhina dan terendahkan harkat dan martabatnya dalam alam jajahan menjadi manusia bebas dan memiliki harga diri dalam alam Republik Indonesia yang merdeka.
Sejarah mencatat dalam banyak arsip dan kitab, betapa nestapanya nasib manusia jajahan itu. Hidup dengan sebengol sehari. Diperlakukan tidak setara, karena tidak diperbolehkan masuk ke ruangan-ruangan para tuan-tuan kolonial. Menjadi kuli di atas tanah moyangnya sendiri. Bahkan diperdagangan laksana ternak di pasar, agar bisa menjadi pekerja di kebun-kebun penghasil komoditi yang laku di pasar Amsterdam dan Anterwep. Seperti tembakau, kopi dan gula.
Nah, setelah 75 tahun merdeka, jika kita masih mendengar dan membaca berita masih adanya warga republik mengalami perlakuan seperti dalam alam jajahan, tentu ada yang keliru.
Kekeliruan tersebut tentu tak boleh terus berlanjut.
75 tahun kemerdekaan ini, semestinya menjadi momentum untuk meneguhkan kembali bahwa Indonesia Merdeka bukan hanya untuk segelintir orang, melainkan untuk seluruh tumpah darah Indonesia. Itu ditegaskan dalam UUD,45 sejelas “ayam putih terbang siang”.
Simak lah seluruh ayat dan kalimat dalam konstitusi itu, akan anda temua dua frase utamanya yaitu “setiap warga negara” dan “setiap orang”. Jadi Indonesia merdeka ini disusun dan dialksanakan tanpa memebeda-bedakan warganya atas dasar apa pun. Semua setara dan sederajat. Tak pandang bulu. Tanpa menimbang etnik, agama dan ras, semua harus terlayani dan terlindungi hak-haknya seabgai warga negara dan manusia Indonesia yang merdeka.
Untuk mencapai itu, Indonesia kini punya modal jauh lebih cukup dari era awal kemerdekaan. Pengetahuan dan keahlian berkembang banyak dan maju, fasilitas dan sarana pendukung tersedia lebih dari cukup, infrastruktur politik dan kepemerintahan mendukung. Serta hukum dan perundang-undangan juga tersedia.
Yang belum ada adalah kehendak tulus. Yaitu kehendak tulus untuk berbuat lebih untuk memerdekakan hati tiap-tiap warga negara atau setiap orang Indonesia. Sikap mau menang sendiri masih menjalar. Sikap mementingkan kelompok, puak dan kaum masih subur. Kehendak tulus untuk berbuat tentu perlu ditunjukan oleh para elit di semua jajaran dan tempat. Massa rakyat menunggu itu.
Kembali pada ibu-ibu yang berbaris saban Kamis sore di seberang Istana Negara itu. Ibu-ibu itu lah warga negara Indonesia yang kini hatinya masih terluka. Pekikan merdeka yang ke 75 tahun belum kunjung menyembuhkannya. Berapa perayaan kemerdekaan lagi mereka harus menunggu?.
Jika perayaan kemerdekaan hanya berakhir sekedar upacara, maka rasa luka itu akan melebar dan mendalam. Maka dari itu tidak bisa lain, kemerdekaan harus ditujukan untuk kemanusian. Dengan semagat seperti itu, maka ibu-ibu itu tidak perlu lagi menunggu. Kecuali para elit di negeri ini sudah tidak lagi punya malu kepada ibu-ibunya sendiri.
Comments 1