• Login
JIB Post - Mencerahkan Semesta
  • Kolom
  • Komentar
  • Profil
  • Obituari
  • Memori
  • Info
  • JIB Talks
No Result
View All Result
Advertisement
  • Kolom
  • Komentar
  • Profil
  • Obituari
  • Memori
  • Info
  • JIB Talks
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Komentar
Mengapa Membincang (Lagi) Abih Tandeh?

Gambar: Elsam

Mengapa Membincang (Lagi) Abih Tandeh?

Redaksi JIBPost by Redaksi JIBPost
24 Oktober 2020
in Komentar
0 0

Riki Dhamparan Putra

Barista di Kedai Diskusi Buya Syafii Court

Kita membaca kembali buku Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru karangan R. Yando Zakaria untuk beberapa alasan. Buku ini berada di antara deretan kajian desa yang turut ‘bertanggungjawab’ atas terjadinya perubahan strategi penyelenggaraan pemerintah desa dari model penyeragaman di masa Orde Baru ke model otonomi partisipatif sebagaimana kita lihat sekarang.

Usia 20 tahun buku ini kurang lebih sebaya dengan usia “Cita-cita otonomi desa” yang timbul tenggelam di pinggir wacana-wacana besar republik semenjak diterbitkannya UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah pengganti UU No 5 tahun 1979 yang sering dianggap sebagai pangkal bala pemusnahan keragaman institusi tradisional desa-desa di Indonesia.

Abih Tandeh dan Momentumnya

Sebagai bagian dari agenda pergerakan, yang mendorong terjadinya perubahan pola transpalantasi menjadi transformasi dalam kebijakan penguatan desa otonom, buku ini telah mendapat momentumnya dengan lahirnya UU No 2 tahun 1999. Belakangan, terbit pula UU No 6 tahun 2014 tentang otonomi desa yang dipercaya oleh sebagian pengamat telah memicu perubahan besar pada tata cara penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kedudukan, kewenangan serta relasinya dengan negara.

Namun, situasi yang terjadi selama beberapa tahun setelah pencanangan otonomi desa itu telah menimbulkan kesangsian. Efektifitas perluasan kewenangan desa itu kini mulai diragukan, baik dalam meningkatkan sumber-sumber produksi desa, maupun dalam melindungi sumber daya alam dan karakteristik desa dari eksploitasi modal korporat yang beroperasi di bawah judul investasi dan pembangunan.  

Tanda yang mudah adalah masih kerapnya kita dengar aksi penolakan berujung konflik dari masyarakat desa terhadap aktivitas modal korporat di berbagai wilayah. Menurut catatan Konsorsium Agraria, sepanjang 2018 saja telah terjadi 410 konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan yang meliputi luas wilayah 807 ribu hektar dan 87.568 kepala keluarga. Seandainya perundangan yang tersedia benar-benar memiliki kekuatan untuk melindungi masyarakat desa/adat itu, tentulah konflik serupa tak akan berkelanjutan.

Faktor kualitas SDM merupakan satu faktor yang penting, yang patut direfleksi berkaitan dengan kegagalan perundangan itu. Artinya, pelimpahan kewenangan penyelenggaraan pengelolaan desa kepada desa, perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas SDM desa secara masif.  

Contoh yang mudah untuk kita lihat di sini adalah lambatnya penyelenggaraan dana desa yang belum kelihatan mencapai tujuan yang diharapkan. Khususnya, tujuan menimbulkan sumber-sumber produksi ekonomi masyarakat desa, yang dapat memperkuat kemandirian desa sebagai tujuan hakiki dari otonomi desa.

Alih-alih menciptakan sumber produksi ekonomi desa, vaksin dana desa ini justru potensial memicu berbagai persoalan baru. Misalnya, dampak buruknya pada politik desa, peluang timbulnya masalah hukum dan bahkan berpeluang memunculkan kelas feodal baru yang terdiri dari perangkat desa.

Babaliak ka Nagari

Dalam situasi desa yang seperti itulah proses “Babaliak ka Nagari” dirayakan secara antusias oleh pewenang formal di Sumatera Barat melalui penetapan Perda Nagari No 7 tahun 2018 yang dimaksudkan untuk menjadi payung bagi kabupaten/kota merumuskan peraturan daerahnya.

Apabila kita bandingkan dengan cita-cita pemulihan ‘potensi-potensi original desa’ yang dipaparkan dalam buku Abih Tandeh, masih banyak hal yang sama sekali terlampau dalam Perda Nagari tersebut. Aspek politik identitas yang mencolok pada sumangek babaliak ka nagari itu, tidak serta-merta mencerminkan bahwa perda tersebut telah disusun dengan wawasan kebudayaan yang dialogis dan dinamis. Malahan mungkin sebaliknya, tanpa wawasan kebudayaan yang memadai.

Definisi nagari di situ, contohnya, tergambar sebagai replika struktural dari struktur adat nagari di Minangkabau yang dibayangkan masih eksis di Minangkabau, walaupun realitanya itu lebih banyak bersifat konseptual daripada kontekstual. Kehadiran KAN misalnya, bukan lembaga yang lahir dari rahim ruang lingkup nagari secara alamiah, tetapi konsensus cendikiawan Sumbar di masa Orde Baru untuk meningkatkan kontrol pembangunan atas masyarakat Sumatra Barat.

Dengan demikian, memberi peran yang dijamin regulasi pada lembaga seperti KAN, berpotensi menimbulkan resiko yang interventif terhadap dinamika nagari. Karena, menempatkan nagari menjadi bagian dari struktur kekuasaan formal.

Wawasan kebudayaan yang  tergesa-gesa dalam Perda Nagari itu, juga dapat kita kesan dari jargon falsafah “Adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah” yang dikatakan merupakan fondasi adat atau kebudayaan Minangkabau. Bahwa falsafah ini telah ada dalam imajinasi orang Minang, memang tak kita ingkari. Akan tetapi, kehadirannya sejauh ini tidak berada di bawah regulasi formal.

Falsafah itu lebih eksis sebagai suatu pedoman ideal atau imajinatif dari masyarakat yang telah memegang Islam sejak lama. Menjadikannya sebagai produk regulasi sebenarnya mengandung bahaya besar, karena itu berarti mengubah sarak menjadi instrumen hukum dan kekuasaan.

Kelemahan Perda Nagari

Di tengah merosotnya ekspresi keagamaan yang meliputi kita akhir-akhir ini, hal demikian sungguhlah merisaukan hati dan pikiran. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi, tatkala seluruh kepala nagari dan pemangku adat di Sumbar itu tiba-tiba berubah perannya menjadi penetap hukum berkat adanya Perda Nagari ini.

Kelemahan lain yang mendasar dari Perda Nagari itu adalah karena terlalu fokus pada pelimpahan wewenang kuasa nagari. Tidak pada aspek humanis atau sumber daya manusia yang seharusnya mendapat porsi lebih.

Bagaimana misalnya perda itu menjamin dan memberi sokongan upaya-upaya kreatifitas seni budaya dalam lingkup nagari, bagaimana mendefinisikan warisan budaya sebagai sesuatu yang berkelanjutan, hal-hal seperti itu sama sekali tidak terlihat. Padahal, kebudayaan dalam definisi yang hidup, tercipta berkat adanya aktifitas kemanusiaan yang seperti itu. Kekuasaan hanyalah dampak dari kepelbagaian kreatifitas manusia nagari itu.

Penyunting: Nirwansyah

Post Views: 305
Tags: Abih tandehAdatKebudyaanPerda Nagari
Share25Tweet16SendShare
Redaksi JIBPost

Redaksi JIBPost

Media jaringan berkemajuan dalam keberbagaian. Tidak kaku dan tidak beku. Cair mengalirkan kebajikan dan kemanusiaan. Progresif dan berkemajuan.

Related Posts

Al-Qisht

Al-Qisht dan Alkostar

2 Maret 2021
Membumikan Digitalisasi IPM

Membumikan Digitalisasi IPM

27 Februari 2021

Akademisi Parasit

Islam di Sumatra Barat yang Sedang Sial

Next Post
Ditjen Dikti Gaet Maarif Institute Tingkatkan Literasi Media

Ditjen Dikti Gaet Maarif Institute Tingkatkan Literasi Media

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Buya Syafii: Mendewakan Seseorang Berdasarkan Keturunan adalah Perbudakan Spiritual

Buya Syafii: Mendewakan Seseorang Berdasarkan Keturunan adalah Perbudakan Spiritual

22 November 2020
Scopusisme dan Angka Kredit

Scopusisme dan Angka Kredit

16 November 2020
Muhammadiyah Gertak Pemerintah?

Muhammadiyah Gertak Pemerintah?

4 Januari 2021
Ahmad Syafii Maarif atau biasa dipanggil Buya Syafii mengatakan bahwa tidak ada sistem politik yang sempurna, bahkan demokrasi sekalipun.

Buya Syafii: Dunia Sedang Lintang Pukang

15 November 2020
PROKLAMASI MUHAMMADIYAH

PROKLAMASI MUHAMMADIYAH

4
Mbah Modin: Supeno Bukan Komunis

Mbah Modin: Supeno Bukan Komunis

3
COVID-19 dan Penundaan Pilkada Serentak 2020

Covid-19 dan Penundaan Pilkada Serentak 2020

3
Keuangan Negara Meredam Covid-19

Keuangan Negara Meredam Covid-19

3
Al-Qisht

Al-Qisht dan Alkostar

2 Maret 2021
Kembali Karena Teka-Teki Tak Bertepi

Kembali Karena Teka-Teki Tak Bertepi (Bagian 2)

2 Maret 2021
Kembali Karena Teka-Teki Tak Bertepi

Kembali Karena Teka-Teki Tak Bertepi (Bagian 1)

2 Maret 2021
Bakti Muhammadiyah Jombang, Bagikan 2 Ton Telur dan 2 Ribu Paket Sembako untuk Korban Banjir di Bandarkedungmulyo

Bakti Muhammadiyah Jombang, Bagikan 2 Ton Telur dan 2 Ribu Paket Sembako untuk Korban Banjir di Bandarkedungmulyo

1 Maret 2021

Populer Minggu ini

Al-Qisht

Al-Qisht dan Alkostar

2 Maret 2021
Kembali Karena Teka-Teki Tak Bertepi

Kembali Karena Teka-Teki Tak Bertepi (Bagian 2)

2 Maret 2021
Kembali Karena Teka-Teki Tak Bertepi

Kembali Karena Teka-Teki Tak Bertepi (Bagian 1)

2 Maret 2021
Bakti Muhammadiyah Jombang, Bagikan 2 Ton Telur dan 2 Ribu Paket Sembako untuk Korban Banjir di Bandarkedungmulyo

Bakti Muhammadiyah Jombang, Bagikan 2 Ton Telur dan 2 Ribu Paket Sembako untuk Korban Banjir di Bandarkedungmulyo

1 Maret 2021
JIB Post - Mencerahkan Semesta

© 2020 JIBPost.ID

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Kirim Artikel
  • Kontak Kami
  • Pedoman Media Siber

No Result
View All Result
  • Kolom
  • Komentar
  • Profil
  • Obituari
  • Memori
  • Info
  • JIB Talks

© 2020 JIBPost.ID

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In