Penguatan etika birokrasi untuk membangun good governance dan corporate culture dengan demikian merupakan implikasi logis belaka dari iman, ilmu, dan amal
Azyumardi Azra, CBE
Profesor Sejarah dan Kebudayaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dinamika kehidupan publik Indonesia belakangan ini baik pada ketiga cabang pemerintah (eksekutif, legislatif, yudikatif) terlihat makin menjauh dari harapan rakyat. Kalangan elit pemerintahan dan elit politik sering melakukan pelanggaran etika publik dan ketentuan hukum dengan melakukan, misalnya KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Juga banyak terjadi pelanggaran etika publik, memunculkan politik tidak etis alias ‘tuna etika’ lewat berbagai trick (tipu daya) dan gimmick (muslihat). Fenomena ini nampak terus berlanjut melintasi berbagai perkembangan politik Indonesia; entah sampai kapan.
Untuk mengingatkan, politik tuna etika itu terlihat dalam saga terkait berbagai legislasi yang digugat kalangan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi (MK), seperti perubahan UU KPK, perubahan UU Minerba, penetapan UU Cipta Kerja, dan pengesahan UU IKN. Gugatan itu lazimnya tidak dipenuhi MK dengan berbagai alasan. Jika ada yang diterima, hanya bagian kecil yang tidak substantif.
Sementara itu, dalam dua atau tiga dasawarsa, kehidupan publik Indonesia lebih luas juga terus mengalami berbagai bentuk disrupsi. Ada kegaduhan sosio-politik yang masih berlanjut yang disinggung di atas. Ada krisis sosio-budaya yang seolah tidak berakhir; dan ada pula disrupsi sosio-teknologi akibat perubahan dan kemajuan cepat dalam berbagai aspek teknologi terutama karena sambung-menyambungnya Revolusi Industri 4.0 dan Revolusi Industri 5.0.
Revolusi Industri 4.0 mengakibatkan semakin memudarnya batas-batas fisik, misalnya di antara dunia maya (virtual) dengan realitas fisik dan berbagai bidang kehidupan. Perubahan sangat cepat dalam pelbagai bidang teknologi menghasilkan, misalnya fusi ‘kecerdasan buatan’ (artificial intelligence), robotik, mahadata atau dataraya atau databandang (big data). Dinamika ini berlanjut dalam Revolusi Industri 5.0 yang makin cepat, apalagi akibat pandemi Covid-19 sejak akhir 2019 yang masih berlanjut sepanjang 2022.
Sekali lagi, berbagai perkembangan dalam sains-teknologi menimbulkan banyak disrupsi dalam berbagai bidang kehidupan; sejak dari sosio-politik, sosio-budaya, sosio-teknologi, sosio-religius, sosio-ekonomi, dan lapangan pekerjaan. Digitalisasi mengakibatkan banyak aspek teknologi dan pekerjaan yang hilang digantikan dengan teknologi dan pekerjaan baru.
Pada saat yang sama, juga terjadi kemerosotan etika personal dan etika publik; banyak warga (elit maupun awam) yang tidak lagi menampilkan keadaban (civilitity) yang mutlak bagi kehidupan publik. Oleh karena itu, di tengah berbagai perubahan dan disrupsi itu, perlu penguatan kembali berbagai aspek etika, termasuk khususnya etika publik, etika politik, etika keagamaan, dan bahkan etika sosio-teknologi.
Etika Publik dan Etika Politik
Dalam wacana akademik-ilmiah, ‘etika publik’ (public ethic) sering disebut sebagai bagian dari ‘etika politik’ (political ethics), karena politik dipandang sebagai sangat menentukan berbagai aspek kehidupan publik. Tetapi etika publik sering pula dikontraskan dengan etik pribadi (private ethic) yang lebih bersifat personal, yang tidak selalu terkait dengan kehidupan publik.
Selanjutnya, etika publik dan etika politik bersumber dari induknya ‘etika’ secara umum. Etika yang juga dikenal sebagai ‘filsafat moral’ adalah cabang filsafat etika atau filsafat moral yang mencakup sistematisasi, pembelaan dan penegasan tentang konsep dan nilai baik dan buruk. Kandungan dan nilai baik-buruk juga ada dalam agama, tradisi dan kearifan lokal yang mengatur kehidupan publik dengan baik.
Etika lazimnya juga memiliki tiga bagian besar: meta-etika, etika normatif, dan etika terapan. Ketiga bagian atau aspek etika ini juga berlaku bagi etika publik atau juga politik.
Penting dicatat, konflik dan dilema sering terjadi antara etika dengan politik. Hal ini tak karena sifat kedua bidang yang bukan tidak sering kontradiktif; etika di satu pihak merupakan nilai dan prinsip etis dan moral luhur. Sedangkan politik pada pihak lain—meski juga mengandung prinsip dan nilai luhur—sering terseret dan terjerumus ke dalam kepentingan politik partisan, pragmatis, dan oportunistik yang mengabaikan kepentingan warga dan publik secara keseluruhan.
Sedangkan ‘politik’ secara sederhana adalah istilah yang umumnya diterapkan pada ‘seni’ atau ‘cara’ pengelolaan pemerintah atau kenegaraan, termasuk perilaku pejabat publik dalam pemerintah. Dalam pengertian ini, pengelolaan pemerintahan atau negara secara untuk kepentingan publik dan warga memerlukan tidak hanya undang-undang, tetapi juga etika politik.
Etika politik sering juga disebut sebagai ‘moralitas politik’ atau ‘etika publik’. Oleh karena terkait dengan ranah publik, etika politik menyangkut praktik penilaian etis dan moral terhadap keputusan dan aksi politik beserta aktor dan agen politik yang berada di ruang publik dan mengandung konsekuensi dan implikasi tertentu terhadap kehidupan publik.
Etika politik biasanya dibagi menjadi dua bagian yang masing-masingnya distingtif, tapi tetap terkait satu sama lain. Kedua bidang etika politik tersebut bersumber dari filsafat etika/moral, filsafat politik, ilmu politik, dan teori demokrasi.
Pertama, etika proses politik, menyangkut proses-proses politik yang berlangsung apakah sesuai atau tidak dengan nilai etis dan moral yang berlaku dalam kehidupan publik. Etika proses politik juga terkait dengan ketentuan hukum yang mesti dipatuhi setiap dan seluruh pejabat publik sehingga dapat menciptakan ketertiban dan keteraturan.
Kedua, etika kebijakan politik, menyangkut kebijakan yang semestinya sesuai dengan tujuan politik demokrasi dan kehidupan berbangsa-bernegara—untuk kepentingan publik sebesar-besarnya. Etika kebijakan publik berpijak pada prinsip keadilan dan kesetaraan bagi setiap dan seluruh warga.
Tidak ragu lagi, etika politik sangat penting dalam kehidupan politik dan publik. Tanpa etika politik, yang terjadi bukan hanya kekacauan dalam pengelolaan lembaga-lembaga negara, tetapi juga dapat menjerumuskan negara menjadi negara gagal (failed state). Oleh karena itulah etika politik mesti diperkuat terus-menerus, walaupun usaha ini tidak mudah sama sekali.
Aktualisasi Etika
Penerapan atau pembumian etika pribadi dan etika publik oleh para pejabat publik khususnya, mutlak adanya agar mereka teguh dalam penyelenggaraan politik dan negara. Jika mereka memiliki integritas dan keteguhan dalam menerapkan atau membumikan etika politik dan etika publik, mereka juga lebih tegar misalnya menghadapi godaan korupsi dan berbagai bentuk pelanggaran hukum dan moral lainnya.
Pembumian etika pribadi, etika publik, dan etika politik di kalangan politisi dan pejabat publik dapat dilakukan dengan memberdayakan aparat negara, pihak swasta, organisasi massa, dan LSM yang ada dalam masyarakat Indonesia sendiri. Mereka semua secara simultan mesti terus memperkuat kerja sama dan jaringan agar senantiasa memiliki kesadaran kuat tentang pentingnya penguatan etika dalam penyelenggaraan negara.
Pada saat yang sama perlu memperkuat kesadaran tentang bahaya pelanggaran etika pribadi, etika publik, dan etika politik. Para pejabat publik dengan demikian dapat menyadari misalnya bahaya pelanggaran etika semacam korupsi terhadap kehidupan pribadi, keluarga, negara, dan bangsa.
Dengan kesadaran tentang etika pribadi, etika publik, dan etika politik dan bahaya pelanggaran terhadap etika tersebut dapat mendorong peningkatan berbagai upaya pemberantasan korupsi. Karena itu, perlu dilakukan identifikasi tentang kekuatan dan kelemahan yang ada dalam pembumian etika sehingga dapat dibangun kapasitas integritas etis dan moral yang memadai dalam diri setiap pejabat publik dalam menghadapi korupsi.
Dalam rangka penguatan etika pribadi, etika publik, dan etika politik penyelenggara negara atau pejabat publik jelas perlu penguatan etika itu sendiri. Seperti disinggung di atas, etika umumnya dipahami sebagai ‘teori atau ilmu tentang praktek moral’. Etika juga dipandang sebagai karakter atau etos individu/kelompok berdasarkan nilai-nilai dan norma luhur. Dengan pengertian ini, etika tumpang-tindih dengan moralitas dan/atau akhlak dan/atau social decorum (kepantasan sosial), yaitu seperangkat nilai dan norma yang mengatur perilaku manusia yang bisa diterima masyarakat, bangsa, dan negara.
Menurut Markkula Center for Applied Ethics di Universitas Santa Clara, etika secara lebih rinci sebagai ukuran dan standar tentang yang benar dan baik dengan yang salah dan tidak baik. “Pertama-tama, etika mengacu kepada standar-standar baku tentang yang benar dan yang salah, yang menegaskan tentang apa yang harus dilakukan manusia, biasanya dalam hal hak, kewajiban, kemanfaatan bagi masyarakat, dan kebajikan (virtues) bagi semua”. Etika pada saat yang sama juga menyangkut standar-standar tentang perbuatan yang mesti dijauhi, seperti korupsi, mencuri, menipu, memfitnah, dan berbagai perbuatan buruk lainnya.
Asosiasi Penyelenggara Pemerintahan Kota Internasional bersepakat tentang etika; merumuskannya dalam sejumlah bentuk perbuatan baik atau kebajikan yang mesti dijalankan dan perbuatan buruk yang mesti ditinggalkan seperti: baik dan buruk; benar dan salah; kebajikan dan kemungkaran; manfaat dan mudarat; kehati-hatian dan kelalaian; karakter dan keurakan.
Dalam konteks Indonesia, etika terkandung tidak hanya dalam ajaran agama dan ketentuan hukum, tetapi juga dalam social decorum berupa adat istiadat dan nilai luhur sosial budaya. Di tengah perubahan sosial-budaya begitu cepat yang membuat tergerusnya nilai-nilai tersebut, perlu pemberdayaan dan revitalisasi nilai budaya yang kondusif dan suportif bagi penguatan etika politik dan integritas para penyelenggara negara.
Jelas, dalam masyarakat kita sebenarnya terdapat banyak nilai budaya—yang sering tumpang-tindih dan berpadu dengan nilai dan ajaran agama—seperti etos kerja yang tinggi untuk menjalankan tugas sebaik mungkin; disiplin dalam pelaksanaan pekerjaan dan tugas; jujur dalam pelaksanaan tugas; amanah dalam memegang setiap tanggung jawab; bertanggung jawab (akuntabel) dalam tugas; adil dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah; malu melakukan kesalahan; dan patuh pada tatanan hukum, ketentuan, dan ketertiban.
Nilai budaya dan agama yang kondusif dan suportif bagi penciptaan dan penguatan etika politik dan integritas para pejabat publik sayangnya belum ‘membudaya’ dalam kehidupan dan perilaku sehari-hari. Faktor penyebabnya cukup banyak, mulai dari ‘keterbelahan pribadi’ (split personality) pejabat publik bersangkutan yang memisahkan nilai budaya dan agama yang luhur dengan praktik kehidupan sehari-hari mereka.
Faktor kedua, adanya dorongan gaya hidup materialistik dan hedonistik yang membuat pejabat publik tergoda melakukan pelanggaran integritas. Faktor ketiga, lemahnya penghormatan pada tatanan hukum. Faktor keempat, lemahnya penegakan hukum penegak hukum; dan kelima, adanya permisivisme luas masyarakat terhadap pelanggaran norma etika, budaya, dan agama yang dilakukan kalangan pejabat publik.
Aktualisasi etika, nilai budaya, dan agama yang suportif bagi etika politik dan integritas pejabat publik memerlukan berbagai dukungan. Dalam praktiknya, nilai-nilai tersebut tidak bisa berdiri sendiri, sebab mereka lebih merupakan himbauan moral daripada kewajiban yang mesti dilaksanakan lengkap dengan sanksi hukumnya.
Karena itu, aktualisasi nilai itu selain memerlukan sosialisasi dan pembudayaan terus-menerus, juga meniscayakan dukungan penegakan hukum konsisten, yang memiliki kekuatan memaksa sehingga berbagai nilai tersebut benar-benar teraktualisasi dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan negara-bangsa.
Prinsip Pengelolaan Etika
Pengembangan etika politisi dan pejabat publik dapat dilakukan melalui pendidikan sejak pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi. Nilai tersebut telah banyak diajarkan melalui berbagai mata pelajaran/mata kuliah. Persoalannya, nilai-nilai tersebut lebih diajarkan secara kognitif daripada afektif dan psikomotorik.
Karena itu, nilai-nilai itu menjadi sekadar pengetahuan yang bakal diujikan daripada dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat kenyataan ini, perlu pendekatan dan metode pembelajaran baru yang lebih memungkinkan terjadinya internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai tersebut bagi peserta didik dalam kehidupan mereka.
Meski sumber dan nilai etika begitu melimpah dalam masyarakat, dalam praktiknya etika cenderung diabaikan banyak penyelenggara negara, aparat birokrasi, pihak swasta, dan kalangan masyarakat. Meminjam kerangka Prinsip Pengelolaan Etika dalam Pelayanan Publik, ada beberapa langkah kebijakan dan langkah yang dapat diambil untuk penerapan etika secara komprehensif, tapi praktis:
Pertama, adanya kejelasan standar dan ukuran etika bagi pelayanan publik. Penyelenggara negara dan pelayan publik perlu tahu secara jelas tentang prinsip-prinsip dan ukuran-ukuran dasar tentang pekerjaan mereka lengkap dengan batas-batas jelas tentang mana yang boleh dan tidak boleh.
Kedua, adanya kerangka hukum tentang standar etika yang menjadi dasar bagi standar dan kewajiban setiap pelayan publik. Harus ada kerangka hukum dan ketentuan yang merupakan bimbingan, penyelidikan, tindakan pendisiplinan, dan hukum bagi setiap pelanggaran.
Ketiga, adanya Bimbingan Etika bagi setiap pelayan publik untuk dipegangi, disosialisasikan dan dipromosikan setiap pihak sepanjang waktu; Keempat, adanya kejelasan tentang hak dan kewajiban pelayan publik ketika melakukan pelanggaran, yang juga mencakup ketentuan dan prosedur yang harus diikuti pemeriksa dan pelayan publik yang terduga melakukan pelanggaran etika.
Kelima; adanya komitmen politik untuk menegakkan etika pelayan publik. Para pemimpin politik dan petinggi birokrasi bertanggung jawab mempertahankan penegakan etika; dan menindak setiap mereka yang melanggar etika yang telah ditetapkan.
Keenam, adanya transparansi dalam pengambilan keputusan agar kekuasaan dan kewenangan kekuasaan dan sumber daya yang dipercayakan kepada pemegang posisi puncak dapat terjaga dalam penegakan etika dan penindakan pelanggaran.
Ketujuh, adanya panduan yang jelas tentang interaksi yang dibenarkan di antara sektor publik dan swasta/masyarakat sehingga tidak terjadi konflik kepentingan, penyalahgunaan wewenang dan korupsi.
Kedelapan, adanya contoh dan praktek konsisten dalam penegakan etika oleh setiap atasan. Jika atasan melakukan pelanggaran etika, maka ia telah memberikan contoh tidak baik dan sekaligus membuka ‘kebolehan’ pelanggaran etika oleh anak buahnya.
Integritas Iman, Ilmu, dan Amal
Dalam penanaman etika prbadi, etika publik, dan etika politik perlu disinggung sedikit tentang integritas. Dalam perspektif agama, integritas adalah keterpaduan antara iman, ilm,u dan amal. Iman adalah dasar yang menjadi kekuatan penggerak (driving force) dalam berpikir dan bertindak. Tetapi iman saja tidak cukup; harus disertai dengan ‘ilmu’ baik menyangkut berbagai aspek ajaran agama, tetapi juga menyangkut kehidupan sehari-hari.
Dan, iman dan ilmu menjadi hampa jika tidak disertai dengan amal saleh (good deeds); iman tanpa amal adalah ibarat pohon tanpa buah. Bahkan orang yang beriman tanpa amal saleh termasuk ke dalam golongan orang yang merugi. Karena itu, kehidupan dan keimanan hanya bisa bermakna kalau mereka yang beriman selalu mengerjakan amal saleh. Dan, amal saleh itu tidak hanya menyangkut ibadah-ibadah pokok, tetapi segenap perbuatan dan tindakan yang baik bagi diri sendiri, orang lain, masyarakat, bangsa dan negara.
Karena itu, integritas iman, ilmu, dan amal merupakan salah satu sumber utama dan etos dalam pembentukan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan corporate culture—dengan begitu, etika publik dan etika politik. Keterpaduan di antara ketiganya dapat mendorong para pelaku yang beriman tersebut untuk menghasilkan tatanan dan pelaksanaan tugas secara maksimal dan terbaik.
Iman mendorong orang beriman untuk memandang setiap pekerjaannya sebagai ibadah; bukan sebagai tindakan dan perbuatan ‘keduniaan’ belaka. Sebagai ibadah, setiap perbuatan yang baik dan pekerjaan harus dilaksanakan sesuai ‘rukun’ dan ‘syarat’-nya sehingga dapat memperoleh ‘ganjaran’ (rewards) baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Agar pelaksanaan tugas yang merupakan ibadah itu dapat terlaksana dengan maksimal, perlu pengetahuan dan ketrampilan memadai. Untuk itu, merupakan kewajiban setiap orang, khususnya pejabat, pegawai dan pekerja meningkatkan ilmu, keahlian dan keterampilannya.
Penguatan etika birokrasi untuk membangun good governance dan corporate culture dengan demikian merupakan implikasi logis belaka dari iman, ilmu, dan amal. Karena itulah setiap mereka yang beriman juga dituntut untuk senantiasa ‘memperbaharui’ keimanan, yang dapat mengalami ‘pasang naik dan surut’. Dengan imannya yang senantiasa terbarukan—sehingga menjadi dinamis—orang yang bersangkutan juga selalu ingin untuk melakukan tajdid (renewal, pembaruan) dan islah (reform, reformasi).
Pembaruan dan reformasi—yang bertitiktolak dari iman dan ilmu yang kuat—niscayalah dapat menghantarkan diri, masyarakat, bangsa dan negara ke dalam kehidupan lebih baik, termasuk khususnya juga dalam penciptaan good governance dan corporate culture.
Dalam konteks good governance, integritas iman, ilmu, dan amal dapat mewujudkan pribadi-pribadi—termasuk pegawai yang juga memiliki integritas pribadi. Pejabat publik dan pegawai yang memiliki integritas menggunakan kekuasaan dan wewenang resminya hanya untuk tujuan-tujuan yang syah (justified) menurut hukum.
Integritas merupakan antitesis dari korupsi yang merupakan penggunaan kekuasaan untuk tujuan-tujuan yang tidak syah, baik oleh individu maupun kelompok yang memegang kekuasaan, otoritas, dan wewenang. Karena itu, penciptaan dan penguatan integritas pribadi pejabat publik dan pegawai merupakan salah satu faktor terpenting tidak hanya dalam pemberantasan korupsi, tetapi juga dalam reformasi birokrasi dan administrasi guna tercapainya tujuan pembentukan good governance.
Penutup
Untuk implementasi dan aktualisasi nilai budaya dan agama yang suportif bagi pembinaan dan penguatan etika publik dan etika politik pejabat publik perlu berbagai dukungan. Dalam prakteknya, ajaran agama dan nilai budaya luhur yang juga menjadi sumber etika publik dan etika politik tidak bisa berdiri sendiri, sebab mereka lebih merupakan himbauan moral daripada kewajiban yang mesti dilaksanakan lengkap dengan sanksi-sanksi hukumnya.
Karena itu, guna penanaman dan penguatan etika publik dan etika politik lewat aktualisasi ajaran agama dan nilai/tradisi luhur itu perlu sosialisasi dan pembudayaan secara terus-menerus. Selain itu, juga meniscayakan dukungan penegakan hukum yang konsisten, yang memiliki kekuatan memaksa sehingga nilai-nilai tersebut dapat benar-benar teraktualisasi dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan negara-bangsa.
Hanya dengan pemimpin yang memegangi etika publik, etika politik, berintegritas, berkarakter dan berjati diri, ketahanan nasional negara-bangsa Indonesia dapat diperkuat. Dengan begitu pula sekaligus Pancasila diterapkan dalam kehidupan publik.
Sebaliknya, pemimpin yang tuna etika publik, tuna etika politik, dan tidak berintegritas dan tidak komit pada penciptaan good governance mengakibatkan ketidakadilan, kekacauan pelaksanaan pembangunan dan yang dapat menciptakan pada keresahan sosial-budaya, ekonomi dan agama. Keadaan seperti ini jelas bertentangan dengan kelima sila Pancasila. Dalam keadaan ini, ketahanan nasional dapat menjadi merosot yang akhirnya bisa menimbulkan disintegrasi sosial, budaya, agama, dan politik.
*Bahan Webinar ‘Nilai-nilai Etika dalam Konstelasi Perubahan Sosio-Teknologi’ Forum Guru Besar/FGB ITB, 10 Juni 2022
Bibliografi
Armstrong, Elia, 2005, Integrity, Transparency and Accountablity in Public Administration: Recent Trends, Regional and International Development and Emerging Issues, UN, New York.
Azra, Azyumardi, 2016, ‘Koneksi, Kolusi and Nepotism: Religion or Culture? The Indonesian Experience of Wasta’, dalam Ramady E Mohamed (ed.), The Political Economy of Wasta: Use and Abuse of Social Networking, London & New York: Springer.
Azra, Azyumardi, 2010, ‘Integritas Iman, Ilmu dan Amal: Membentuk Good Governance dan Corporate Culture”, Makalah Ceramah “Etika Birokras”, Pemda Prov. DKI Jakarta, 21 Oktober, 2010.
Azra, Azyumardi, 2010, “Penguatan Integritas Hakim”, Makalah Lokakarya Komisi Yudisial, Bogor, 23-24 Nopember 2010.
Azra, Azyumardi, 2009, “Integritas Pribadi dan Publik: Membangun Clean and Accountable Democracy”, Makalah Lokakarya Pengembangan Pribadi Kader, DPP PAN, Bogor, 29 Desember, 2009’
Azra, Azyumardi, 2008, “Dimensi Budaya dalam Reformasi Birokrasi”, akalah Diskusi STIA LAN, 25 Nopember 2008.
Patton, David, 2008, ‘Ethics Reform and Public Integrity’, Policy Perspectives: Center for Public Policy & Administration, The University of Utah.
‘Principles for Managing Ethics in the Public Service: OECD Recommendation’, PUMA Policy Brief No 4, 1998.
UN, 2010, Promoting Ethics in Public Service, New York, Department of Economic and Social Affairs.
Weinreb, Lloyd, 2003, ‘Integrity in Government’, Fordham Law Review, Volume 72, Issue 2, 1-1, 2003.
Profil Prof. Dr. Azyumardi AZRA, CBE
AZYUMARDI AZRA, CBE, lahir 4 Maret 1955, adalah gurubesar sejarah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah; dan Staf Khusus Wakil Presiden RI untuk Bidang Reformasi Birokrasi (19 Januari 2017-20 Oktober 2019). Dia pernah menjabat Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta sejak Januari 2007 sampai April 2015. Ia juga pernah bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006).
Semasa mahasiswa aktif sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat (1980-1983); Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1981-1982). Lalu menjadi salah satu Presidium ICMI (2005-2010), anggota Dewan Penasehat MUI (2000-2014) dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat (2015-sekarang).
Memperoleh gelar MA (Kajian Timur Tengah), M.Phil dan Ph.D (Sejarah/Comparative History of Muslim Societies) dari Columbia University, New York (1992) with distinction. Pada Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Ia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9).
Selain itu juga anggota Dewan Penyantun Internasional Islamic University, Islamabad, Pakistan (2005-12); Komite Akademis The Institute for Muslim Society and Culture (IMSC), International Aga Khan University (London, 2005-2010); Dosen tamu dan konsultan Fakultas Agama dan Teologi Universitas Katolik Leuven Belgia (2015); anggota Dewan Penasehat College of Islamic Studies, Universitas Hamad bin Khalifa Qatar (2018-); dan anggota Dewan Penasehat Internasional ISTAC, IIUM, Kuala Lumpur, Malaysia (2019-sekarang).
Dalam bidang ilmu pengetahuan dan riset, dia adalah anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, 2005-sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-9). Dia juga anggota Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP, Tokyo, 1999-2001); Asian Research Foundation-Asian Muslim Action Network (ARF-AMAN, Bangkok, 2004-sekarang); The Habibie Center Scholarship (2005-sekarang); Ford Foundation International Fellowship Program (IFP-IIEF, 2006-12); Asian Scholarship Foundation (ASF, Bangkok, 2006-10); Asian Public Intellectual (API), the Nippon Foundation (Tokyo, 2007-2014); anggota Selection Committee Senior Fellow Program AMINEF-Fulbright (2008); Presiden International Association of Historians of Asia (IAHA, 2010-12); dan Presiden Asian Muslim Action Network (AMAN, Bangkok 2015-sekarang).
Selain itu, dia anggota Dewan Pendiri Kemitraan—Partnership for Governance Reform in Indonesia (2004-sekarang); Dewan Penasehat United Nations Democracy Fund (UNDEF, New York, 2006-8); International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm (2007-13); Multi Faith Centre, Griffith University, Brisbane (2005-14); Institute of Global Ethics and Religion, USA (2004-sekarang); LibforAll, USA (2006-sekarang); Center for the Study of Contemporary Islam (CSCI, University of Melbourne, 2005-7); Tripartite Forum for Inter-Faith Cooperation (New York, 2006-sekarang); anggota World Economic Forum’s Global Agenda Council on the West-Islam Dialogue (Davos 2008-sekarang); dan anggota Kelompok Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT, 2016-sekarang).
Dia juga adalah pemimpin redaksi Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies (Jakarta, 1994-sekarang); juga menjadi editor; Journal of Qur’anic Studies (SOAS, University of London, 2006-sekarang); Journal of Usuluddin (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2006-sekarang); Jurnal Sejarah (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2005-sekarang); The Australian Journal of Asian Law (Sydney, Australia, 2008-sekarang); IAIS Journal of Civilisation Studies (International Institute of Advanced Studies, Kuala Lumpur, 2008-sekarang); Journal of Royal Asiatic Society (JRAS, London, 2009-sekarang); Journal Islamic Studies (Islamic Research Institute, Islamabad, 2010-sekarang; Jurnal Akademika (Universiti Kebangsaan Malaysia, 2010-sekarang); dan Journal of Islamic Studies (Oxford Centre for Islamic Studies, 2013-2016).
Dia telah menerbitkan lebih dari 44 buku, termasuk Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in a Global Context (Jakarta & Singapore, TAF, ICIP, Equinox-Solstice, 2006); Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development (Mizan International: 2007); (co-contributing editor), Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashgate: 2008); Varieties of Religious Authority: ¨Changes and Challenges in 20th Century Indonesian Islam (Singapore: ISEAS, 2010); contributing-editor, Indonesia dalam Arus Sejarah: Jilid III, Kedatangan dan Peradaban Islam, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan & Ichtiar Baru-Van Hoeve, 2012; dan contributing editor, Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jilid III, 2015; dan Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme dan Demokrasi (2016).
Lebih 30 artikel dan bab buku berbahasa Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional, di antara yang paling mutakhir; ‘Koneksi, Kolusi and Nepotism: The Indonesian Experience in Combatting Negative Wasta’, dalam Mohamed A. Ramadi (ed.), The Political Economy of Wasta: Use and Abuse of Social Capital Networking (New York: Springer, 2016); ‘Indonesia’s Middle Power Public Diplomacy: Asia and Beyond’, in Jan Melissen & Yul Sohn (eds.), Understanding Public Diplomacy in East Asia: Middle Powers in a Troubled Region (New York: Palgrave-Macmillan, 2016).
Pada 2005 ia mendapatkan The Asia Foundation Award dalam rangka 50 tahun The Asia Foundation atas peran pentingnya dalam modernisasi pendidikan Islam; dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI, pada 15 Agustus 2005 mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama RI atas kontribusinya dalam pengembangan Islam moderat; pada September 2010, ia mendapat penghargaan gelar CBE (Commander of the Most Excellent Order of British Empire) dari Ratu Elizabeth, Kerajaan Inggris atas jasa-jasanya dalam hubungan antaragama dan peradaban.
Kemudian pada 28 Agustus 2014 ia mendapat penghargaan ‘MIPI Award’ dari Masyarakat Imu Pemerintahan Indonesia (MIPI). Selanjutnya, pada 4 Agustus 2014, ia dianugerahi ‘Commendations’ dari Kementerian Luarnegeri Jepang atas jasanya memperkuat saling pengertian antara Jepang dan Indonesia; dan 18 September 2014 dia terpilih sebagai salah satu dari tiga penerima anugerah bergengsi Fukuoka Prize 2014 Jepang atas jasa dan kontribusi signifikannya pada peningkatan pemahaman masyarakat internasional terhadap budaya Asia.
Pada 25 Juni 2015 dia mendapat penghargaan ‘Cendekiawan Berdedikasi’ dari Harian Kompas; pada 20 Agustus 2015 dia terpilih menyampaikan ‘LIPI Sarwono Memorial Lecture’ dalam rangka ulang tahun ke-48 LIPI; pada 21 Agustus 2015 dia terpilih menerima ‘Penghargaan Achmad Bakrie’ dalam Pemikiran Sosial; pada 23 Agustus 2017 dia mendapat penghargaan ‘LIPI Sarwono Award’ dalam rangka Ulang Tahun ke-50 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); dan pada 7 November 2017 dia mendapat penghargaan dari pemerintah Jepang ‘The Order of the Rising Sun: Gold and Silver Star’ yang diserahkan Kaisar Akihito dan Perdana Menteri Shinzo Abe di Imperial Palace, Tokyo, Jepang.
Selain itu, pada 2009 dia terpilih sebagai salah satu di antara ‘The 500 Most Influential Muslim Leaders’ dalam bidang Scholarly (kesarjanaan/keilmuan) oleh Prince Waleed bin Talal Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, Washington DC dan The Royal Islamic Strategic Studies Centre, Amman, Yordania di bawah pimpinan Prof John Esposito dan Prof Ibrahim Kalin.