Nu’man Iskandar
Ketua PP Pemuda Muhammadiyah
Tidak banyak yang mengenal Supeno kecuali orang-orang yang pernah bertemu dengannya. Setelah kematiannya, orang menjadi sangat takut menyebut namanya, lebih-lebih membicarakannya. Akan tetapi, orang yang pernah mengenalnya, semua mengingat Supeno adalah orang yang baik dan muslim yang taat.
Setiap sore dan subuh, Supeno mengajar ngaji turutan di masjid Al-Ittihad, Kemendung, Sekoto, Pare, Kediri. Supeno adalah korban salah sasaran pada saat pembersihan anggota PKI di Kediri, JawaTimur, pada akhir tahun 1966 karena namanya dicatut sebagai anggota Lekra.
Supeno dan Mbah Modin
Konflik PKI dengan kelompok muslim di Kediri telah terjadi lama dan benturannya sangat keras khususnya di Sekoto. Jika melihat sejarah konfliknya, pertama terjadi pada tahun 1920-an.
Ketika itu, PKI di Kediri sudah berhadapan langsung dengan Sarekat Islam (SI) pimpinan Haji Nazir, tokoh SI cabang Pare dalam kegiatan mereka. Bahkan, dalam catatan Clifford Geertz maupun Deliar Noer, H. Nazir adalah tokoh sentral dalam upaya disiplin partai, yaitu mendepak PKI dari SI. Meski imbas disiplin partai tersebut Muhammadiyah harus keluar dari Sarekat Islam karena tidak boleh rangkap organisasi. Haji Nazir sendiri adalah salah satu penyokong utama Muhammadiyah Cabang Pare.
Mbah Modin, demikian Clifford Geertz menyebutnya dalam berbagai karyanya tentang Mojokuto, bercerita tentang Supeno dengan mata terbata-bata karena tidak mampu menyelamatkan Supeno pada sebuah malam yang mengerikan itu. Nama asli Mbah Modin adalah Sugito, adik ipar dari Kyai Qosim. Sedang Kyai Qosim adalah ayah dari Prof. Abdul Munir Mulkhan, tokoh Muhammadiyah.
Kala itu, jelang tengah malam, Supeno dijemput oleh beberapa orang dari Desa Tegowangi, beberapa di antaranya tentara. Tegowangi dan Sekoto, keduanya desa yang posisinya bersebelahan dan berbatasan langsung. Meski rumah Supeno tidak jauh dari rumah Mbah Modin, malam itu Mbah Modin tidak tahu apa yang terjadi dengan Supeno.
Mbah Modin juga tidak menyangka bahwa Supeno akan menjadi korban pembersihan PKI di Kediri. Mbah Modin tahu setelah ada kabar, bahwa ada orang PKI mati di sawah perbatasan antara Sekoto-Tegowangi. Setelah tiba di lokasi, Mbah Modin baru menyadari bahwa mayat disawah itu adalah jenazah Supeno.
Mbah Modin dan Konflik Pemakaman
Di Sekoto, konflik PKI dan kelompok muslim juga sebelumnya pernah terjadi. Pada tahun 1952, konflik tersebut terkait dengan kematian Paijan. Anak berumur 6 tahun ini meninggal karena sakit. Paijan diasuh oleh pamannya yang juga pengikut PKI. Clifford Geertz dalam catatannya tidak menuliskan, bahwa paman Paijan ini pengikut PKI, melainkan sebagai pengikut aliran kebatinan. Karena konflik ini, pemakaman yang seharusnya dapat dilakukan pagi hari harus ditunda menjadi sore hari.
Hal ini terkait dengan mekanisme pemakaman Paijan, apakah akan dimakamkan secara Islam atau dengan cara yang lain. Masyarakat menghendaki agar Paijan dimakamkan dengan cara Islam, sebab Paijan meninggal belum baligh. Sehingga Paijan dipandang belum memiliki dosa, yang oleh karenanya Paijan ini diyakini meninggal sebagai Islam. Sedangkan pamannya sendiri menolak, karena menurutnya Paijan adalah penganut aliran kebatinan karena setiap hari ikut dengannya.
Pemakaman Paijan menjadi tertunda karena benturan ekspresi pandangan politik. Di Sekoto ini, para pengikut Masyumi dan PKI berhadap-hadapan dalam perebutan pemakaman Paijan. Apalagi sekitar dua minggu sebelumnya sempat terjadi bentrok antara pengikut PKI dengan Anshor di Tegalsari. Kampung Tegalsari berada di sebelah selatan Sekoto, sekarang bagian penting dari kampung Inggris Pare. Dalam bentrok itu, 2 orang santri dari Anshor terluka dan meninggal.
Konflik pemakaman ini baru selesai setelah kedatangan orang tua Paijan dari Surabaya. Meskipun orang tua Paijan bukan pengikut Masyumi, tetapi orang tuanya tersebut menginginkan Paijan dimakamkan dengan cara Islam. Ia yang yang datang sendiri kepada Mbah Modin agar anaknya, Paijan, dimakamkan dengan cara Islam.
Meski telah dimakamkan, ketegangan dan panasnya suasana terus terjadi. Paman Paijan yang juga kebetulan memiliki warung kopi, obrolan warung masih terus membahas tentang pemakaman itu. Apalagi warung tersebut juga sering dijadikan tempat untuk melakukan konsolidasi gerakan PKI selain membahas isu-isu politik nasional. Warung kopi itu selalu ramai, karena paman Paijan menyediakan radio, untuk didengarkan bersama.
Pengaruh Gestapu di Jakarta
Supeno, umurnya lebih muda sekitar lima tahun dari Mbah Modin. Sejak kecil, mereka telah berteman akrab karena kebetulan orang tua Supeno adalah penggarap lahan miliki orang tua Mbah Modin. Bahkan, Mbah Modin sendiri telah menganngap Supeno sebagai adiknya sendiri. Ketika pada saat mondok di Kulon Kali, keduanya pun juga bersama. Pada saat mengajar ngaji, Supeno dan Mbah Modin juga besama. Supeno ngajar turutan dan Mbah Modin ngajar Qur’an. Saat baligh, Supeno juga dikhitankan oleh keluarga Mbah Modin.
Akan tetapi, keduanya juga memiliki kegemaran kesenian yang berbeda. Mbah Modin suka dengan diba’an, barzanzi, samroh dan sebagainya. Sedangkan Supeno sangat suka sekali dengan kesenian seperti ludruk, wayang, dan ketoprak. Sebelum Lekra mengkoordinasi grup-grup ludruk, ketoprak, dan wayang, lakon pementasan masih umum dan memberikan banyak nasehat. Setelah Lekra hadir, mereka banyak mementaskan kesenian yang bernuansa paham PKI, menyebarkan pikiran dan ajaran komunisme.
Pada tahun 1960-an, PKI semakin intensif menyebarkan paham dan pikirannya melalui instrumen kesenian. Dalam beberapa pementasan, PKI secara provokatif dan sengaja mengambil lakon Patine Gusti Allah, Gusti Allah Dadi Manten, Malaikat Kawin. Meski tidak pentas di Sekoto, tapi pementasan dengan lakon itu menjadi bahan pembicaraan warga di Sekoto. Bahkan, tidak sedikit bahan dari pementasan tersebut yang menjadi bahan ledekan.
Pementasan dengan lakon itu menambah panas suasana di Sekoto yang sebelumnya memang telah panas. Kejadian di beberapa daerah seperti Kanigoro, Jengkol, dan beberapa tempat lain yang tidak jauh dari Sekoto, menjadikan suasana di Sekoto cukup mencekam. Bahkan, karena begitu kuatnya PKI di Sekoto, beberapa laki-laki jelang malam hari lebih memilih tidak tidur di rumah karena timbul ketakutan-ketakutan akan diculik.
Berita peristiwa Gerakan 30 September PKI di Jakarta berpengaruh besar terhadap kondisi dan suasana sosial di Sekoto. Semua menjadi saling curiga, terutama dari kelompok muslim yang mengalami ketakutan untuk diculik oleh PKI, mengingat PKI dalam banyak aktifitasnya sangat provokatif dan berkuasa di Mojokuto.
Supeno Bukan Komunis
Ketika itu, isu tentang penculikan tokoh muslim juga beredar luas dan pikiran yang ada pada masyarakat Sekoto ketika itu adalah hidup dan mati. Diistilahkan “Jika tidak kamu yang mati, maka aku yang akan mati”. Isu tentang PKI yang sudah menyiapkan kuburan bagi orang-orang muslim juga semakin santer terdengar.
Akhirnya, kekhawatiran itu terjadi. Hanya saja yang terjadi adalah sebaliknya. Tokoh-tokoh PKI di Sekoto ditangkap oleh para tentara. Para tokoh ini tidak ada yang tahu dibawa kemana. Mereka yang ditangkap, semuanya tidak ada yang kembali dan tidak ada kabar berita. Di samping itu, ada juga beberapa tokoh PKI yang di antaranya melarikan diri ke tempat yang tidak diketahui. Sebab, ada beberapa di antaranya yang baru kembali setelah tahun 1980-an.
Adapun tentang Supeno. Pada akhir tahun 1966, sore itu Supeno masih beraktifitas sama seperti biasanya. Tidak ada hal atau firasat apapun jika malam itu adalah hari kematian Supeno. Setelah maghrib, Supeno juga masih mengajar ngaji turutan seperti hari-hari sebelumnya. Jelang tengah malam, Supeno didatangi beberapa orang dari Tegowangi dan beberapa tentara dari koramil. Beberapa orang itu memastikan bahwa yang mereka temui adalah Supeno. Setelah mereka memastikan bertemu Supeno, mereka membawa Supeno dengan kendaraan yang telah disiapkan.
Paginya, Supeno ditemukan meninggal di pematang sawah yang tidak jauh dari rumahnya. Sawah yang berada diperbatasan antara Sekoto dan Tegowangi. Banyak orang tidak berani mendekati mayat itu, meskipun mereka merasa kenal dengan mayat itu. Mbah Modin yang mendengar berita itu bersegera ke sawah dan mendapati bahwa mayat itu adalah Supeno. Mbah Modin yang kemudian mengurus jenazahnya sebagiamana biasanya. Tidak ada luka terbuka pada tubuhnya. Siang itu, Supeno dimakamkan di kuburan yang berada di sisi barat masjid Al-Ittihad, Kemendung.
Mbah Modin dengan mata berkaca-kaca menahan tangis itu kemudian berkata, “Supeno Bukan Komunis”.
Penyunting: Nirwansyah
Comments 3