Jumaldi Alfi
Perupa kontemporer Indonesia
Kemarin saya mendapat kiriman beberapa foto lawas dari seorang teman yang tinggal di Lintau. Hasil bidikan mertuanya yang seorang wartawan. Foto-foto ini adalah dokumentasi penting dari kunjungan KH AR Fachruddin, Ketua Umum PP Muahammdiyah terlama (1968-1990).
Dari keterangan yang diberikan, foto tersebut diambil pada tahun 1969, setahun setelah KH AR Fachruddin dilantik menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Hal yang menarik adalah kunjungan beliau ke Lintau tak lama setelah dilantik sebagai ketua persyarikatan.
Lintau adalah sebuah kecamatan di Sumatera Barat, tepatnya terletak di Kabupaten Tanah Datar. Lintau cukup dikenal sejak dulu. Pada masa Perang Paderi, salah satu Panglima Paderi yang terkenal, yaitu Tuanku Lintau berdomisili di kampungku ini. Semasa kecil, aku kerap lewat di depan rumah peninggalan Panglima Paderi yang terkenal keras dan tegas ini. Konon kabarnya, beberapa artefak seperti pedang, tombak yang digunakan saat Perang Paderi milik beliau masih tersimpan rapi di rumah ini.
Lintau termasuk daerah yang cukup awal menerima Muhammadiyah. Dari beberapa catatan atau dokumen, sejak tahun 1930-an, Lintau telah dikenal sebagai basis Muhammadiyah. Terbukti dengan banyaknya sekolah Muhammadiyah yang didirikan di sini dan menjadi tempat belajar para pemuda dari pelosok Sumatera, salah satu alumninya adalah Buya Syafii Maarif.
Dalam catatan Rustam Rasjid–salah seorang Pemuda Muhammadiyah dan sekaligus wartawan Haluan-Padang yang mendokumentasi kunjungan ini–KH AR Fachruddin datang untuk mengunjungi beberapa sekolah Muhammadiyah yang saat itu terdapat di Lintau. PGA Balai Tangah, Thawalib Lubuk Jantan, Madrasah Dakwah Batu Bulek, dan Muallimin Tanjung Bonai.
Pada tahun kunjungan KH AR Fachruddin tersebut, saya belum lahir. Namun, beberapa orang di dalam foto yang bersanding dengan Pak AR masih saya kenal. Semasa kecil, saya pernah bertemu dengan mereka. Sekarang mungkin sudah Almarhum semua. Alfatihah!
Saya sedang bergairah mengais-ngais akar kemuhammadiyahan saya, dan merasa senang mendapatkan dokumen penting ini. Semoga tahun depan saya bisa pulang kampung dan bisa bertemu dengan beberapa narasumber untuk dapat bernostalgia serta bertanya mengapa Muhammadiyah di Lintau tak terdengar lagi kiprahnya. Lebih-lebih, sejak beberapa sekolahnya yang legendaris itu tutup.
Penyunting: Nirwansyah