Ahmad Syafii Maarif
Guru Besar Sejarah dan Pemikiran Islam
Imperium atau kekaisaran adalah sekelompok negara atau teritorium di bawah sebuah kekuasaan yang berdaulat, atau sebuah negara yang mempersatukan beberapa wilayah dan rakyat di bawah seorang penguasa, atau sebut saja kekaisaran, seperti yang dikenal pada abad-abad kuno dan abad pertengahan. Pertanyaannya adalah: mengapa Amerika Serikat sekarang sering disebut orang sebuah kekaisaran atau imperium? Jawaban sederhana adalah karena Amerika bernafsu menguasai tidak saja beberapa negara, bahkan dunia mau dipaksa tunduk kepada diktenya atas nama demokrasi dan nilai-nilai universal.
Sebagai yang mengaku pemenang Perang Dingin, Amerika yang seharusnya memelopori kearifan global, justru yang dilakukannya adalah kekacauan global dengan mendemonstrasikan kepongahan dan salah tingkah yang memuakkan. Bedanya dengan kekaisaran masa kuno adalah karena penguasa Amerika dipilih setiap empat tahun dan kekuasaannya dibatasi oleh konstitusi untuk dua periode. Akan tetapi, kelakuan yang ditunjukkan oleh beberapa Presiden Amerika adalah kelakuan kaisar (raja diraja), terutama yang berasal dari Partai Republik.
Di bawah Presiden Bush, cetak biru ke arah perluasan kekuasaan itu sangat dirasakan dan dikutuk dunia. Tetapi mengapa Amerika nekat? Di sinilah masalahnya. Apakah karena Amerika sebagai satu-satunya adikuasa setelah Uni Soviet hancur, lalu dengan politik luar negerinya yang imperialistik itu dunia akan bisa dikangkanginya? Amerika yang semula dianggap sebagai kekuatan pelindung (protector), lalu berubah menjadi pemangsa (predator), tulis pengarang Perancis Emmanuel Todd dalam karyanya After the Empire: The Breakdown of the American Order, terj. C.Jon Delogu (London: Constable & Robinson, 2003, hlm. 191).
Todd bukan satu-satunya pengeritik Amerika, masih banyak yang lain, justru penulis Amerika sendiri. Di antaranya adalah Stefan Halper dan Jonathan Clarke dengan karyanya America Alone: The Neo-Conservatives and the Global Order (New York: Cambridge University Press, 2004).
Penulis Amerika lain adalah Chalmers Johnson dengan karyanya Blowback: The Costs and Consequences of American Empire (New York: Henry Holt and Company, 2001). Halper dan Clarke dalam karya di atas telah memberikan analisis detil, komprehensif, dan kritikal tentang peta kiprah kelompok neo-konservatif yang kini sedang menguasai Gedung Putih. Dikupas siapa mereka, dari mana mereka berasal, apa yang mereka pikirkan, dan apa yang telah mereka kerjakan, tulis Afred S. Regnery, seorang penerbit (lih. komentarnya pada sampul bagian dalam).
Pada bagian ujung karya di atas, Halper dan Clarke menulis: “Kelompok neo-konservatif telah memiliki momen mereka. Sayang, doktrinnya dalam format unipolaritas telah membuahkan kerusakan besar” (Hlm. 338). Dengan ungkapan simpatik, tetapi tajam, kedua penulis menyimpulkan dalam pungkasan karya mereka: “Kerja diperlukan untuk mengembalikan jelajah peluru kendali ke tempat penyimpanannya dan dipakai hanya dalam kasus-kasus di mana ia dapat menambah nilai bagi kepentingan-kepentingan Amerika yang luas. Kerja juga diperlukan untuk menghidupkan kembali otoritas moral Amerika yang mengilhami, sejenis kerja dengan daya manfaat, di mana rakyat Amerika telah menunjukkan kemampuannya untuk beberapa generasi. Akan banyak sekali bantuan dari sahabat-sahabat Amerika, yang memahami bahwa dunia akan bekerja terbaik manakala mereka dan Amerika berada dalam iklim pertemanan” (Hlm. 339).
Pertanyaan saya adalah: apakah faksi raja wali dari kaum neo-konservatif di Gedung Putih masih bersedia membuka mata dan hati terhadap imbuan kedua penulis di atas? Apakah sifat keras kepala yang telah membencanai dunia, khususnya negeri Muslim, akan berlanjut terus di bawah kepemimpinan Bush?
Akhirnya, penulis Johnson dalam karya di atas menyimpulkan bahwa pihak Amerika “khususnya di Asia Timur tetapi juga di Amerika Tengah bertingkah tidak lebih baik dari birokrat komunis—pesaing adikuasa mereka [selama Perang Dingin]…Dalam semua probabilitas, oleh karena itu, bagi mereka yang menengok seabad ke belakang, tampaknya tidak satu pihak pun yang telah menang, terutama jika Amerika Serikat tetap saja mempertahankan jalan imperiumnya sekarang ini” (Hlm. 229). Artinya, apa bedanya lalu antara adikuasa komunis dengan adikuasa kapitalis jika kelakuannya setali tiga uang?
*Pernah dimuat di Republika
Penyunting: Nirwansyah
Comments 1