Saya ingin generasi muda mampu meneladani laku kemanusiaan, keilmuan, dan kebersahajaan beliau, yang mampu berpikir bijak
Luhut Binsar Pandjaitan
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia 2019-2024
Saya punya pandangan tersendiri tentang seseorang yang berilmu. Bagi saya, keilmuan seseorang belumlah mencapai pemahaman yang sempurna ketika dia belum mewujudkannya dalam sikap dan laku. Indonesia tidak pernah kekurangan orang-orang berilmu dalam bidang apa pun. Namun, kalau disebut pelaku ilmu, hanya beberapa nama yang saya pernah kenal. Saya amat bersyukur karena pernah mengenal salah satu tokoh “pelaku ilmu” itu. Beliau adalah Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif, yang akrab kita kenal sebagai Buya Ahmad Syafii Maarif.
Kalau boleh jujur, saya mengenal sosok Buya Syafii pertama kali dari kawan dekat saya yang juga adalah tokoh senior di pergerakan Muhammadiyah, almarhum Moeslim Abdurrahman. Almarhum Pak Moeslim juga merupakan senior dari Prof. Dr. Muhajir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia saat ini. Selain almarhum Pak Moeslim, saya juga banyak tahu sosok Buya dari Presiden RI ke-4 K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Kedua tokoh intelektual besar Islam ini sangat menaruh hormat kepada Buya Syafii dengan menyebut beliau sebagai tokoh intelektual Islam yang meskipun besar di organisasi pergerakan Muhammadiyah, namun akrab dengan kultur Nahdlatul Ulama. Di mata Gus Dur, Buya Syafii adalah tokoh Muhammadiyah yang ke-NU-an. Dari cerita mereka berdua tentang sosok Buya Syafii, saya pun sampai pada satu kesimpulan bahwa Buya Syafii adalah sosok negarawan sejati yang konsisten menyerukan nilai-nilai kebajikan. Keilmuannya tidak berhenti dalam pikiran dan lisan, tetapi beliau wujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kita semua tahu, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah Muslim terbanyak di dunia. Namun, memiliki kultur masyarakat yang heterogen, baik dari segi budaya, bahasa, ras atau suku, dan bahkan agama. Kita diikat oleh nilai luhur Pancasila, yakni konsep Bhinneka Tunggal Ika. Walaupun berbeda-beda tetap satu jua. Karena kematangannya melihat perbedaan dan kedalamannya melihat pikiran para pendiri bangsa, saya merasa Buya Syafii sangat pantas untuk disebut sebagai Bapak Bangsa.
Saya ingat pernah membaca salah satu artikel di media popular, yang di situ disebutkan bahwa setiap tahunnya, beliau selalu mengucapkan selamat Natal kepada sahabat-sahabatnya. Bagi beliau, hal ini sudah seperti mengucapkan selamat Idul Fitri kepada sahabat-sahabat sesama Muslim. Sikap plural Buya Syafii dalam menyikapi perbedaan pandangan perihal Hari Natal, saya sebagai seorang non-Muslim, memandang sikap Buya ini patut dijadikan teladan bagaimana kemanusiaan tidak serta-merta menafikan keimanan, malah keduanya harus saling berdampingan.
Saya banyak belajar toleransi dari pemikiran beliau. Bagi Buya, toleransi adalah hal penting untuk Indonesia yang majemuk dalam banyak hal. Dalam bukunya yang saya baca berjudul, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (1996), Buya Syafii menulis, “Sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi sosial, agama, dan budaya tidak mantap.”
Dalam momen 17 Agustus 2020, bulan Kemerdekaan Republik Indonesia, saya juga teringat ide dan gagasan Buya Syafii tentang demokrasi dan kebebasan berpendapat yang selalu relevan dengan kondisi bangsa. Meskipun beliau sering kali melontarkan kritik dan masukan tentang dinamika pemerintahan, namun kritik tersebut selalu punya dasar dan argumentasi yang jelas, serta disampaikan dengan cara yang bijak.
Buya Syafii mengajarkan kepada kita untuk tidak mudah melontarkan kebencian, berburuk sangka, tanpa kritik yang mendukung. Kita harus menularkan energi cinta dan kasih kepada sesama. Contohnya, ketika menanggapi adanya ujaran yang tak pantas bicara tentang pemerintah, di tengah ujian pandemi yang kita alami bersama. Buya Syafii berpendapat cara-cara semacam ini akan menambah beban rakyat yang sedang menderita dan bisa juga menimbulkan gesekan dan polarisasi dalam masyarakat. Bagi saya, inilah karakter seorang negarawan sesungguhnya, selalu menghargai perbedaan dan mengutamakan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi.
Di balik seluruh kehebatan pemikiran Buya Syafii, ada satu karakter beliau yang sangat menawan dan patut dijadikan teladan bagi generasi muda kita, yaitu kebersahajaannya. Saya banyak mendengar kisah perjalanan hidup Buya Syafii yang penuh perjuangan dari teman saya, Moeslim Abdurrahman. Dia menceritakan kepada saya bagaimana kesederhanaan sudah sejak kecil lekat dalam kehidupan Buya Syafii. Bahkan, Buya Syafii pernah hidup susah sehingga untuk membeli beras yang akan dimasak saja harus menunggu kiriman dari honor menulis.
Sampai di usia kepala delapan seperti sekarang, saya melihat dari foto yang viral di media sosial, Buya Syafii masih saja mengayuh sepedanya untuk beraktivitas. Butuh mental yang kuat dan jiwa yang besar untuk memahami kesulitan sebagai sebuah proses pembelajaran sehingga saya merasa bahwa Buya Syafii adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya. Buya sangat menikmati hidup sederhana dan bersahaja meskipun bisa dan sangat mungkin beliau menikmati hasil kerja kerasnya dengan hidup yang lebih nyaman.
Di era disrupsi informasi seperti sekarang, dengan kuantitas informasi berbanding terbalik dengan kualitasnya, saya kira kita perlu banyak berguru tak hanya dari buku, tetapi dari para pelaku ilmu seperti Buya Syafii. Saya ingin generasi muda anak-anak bangsa mampu meneladani laku kemanusiaan, keilmuan, dan kebersahajaan beliau, yang mampu berpikir bijak untuk menyuarakan toleransi dan kemanusiaan, bahwa separuh dari pemikiran kita ada pada saudara kita sesama umat manusia. Seharusnya kita bisa saling mendengar tanpa syak wasangka, saling menyadari bahwa beda tempat berpijak, beda pula cara pandang yang kita punya tentang suatu persoalan.
Harapan saya semoga di usia ke-85 tahun ini, Buya dikaruniai umur yang panjang untuk tetap menjadi pelita ilmu bagi kita semua seluruh anak-anak bangsa dengan pemikiran Buya Syafii yang menembus lintas batas generasi, bukan hanya menjadikan beliau sosok guru terbaik bagi murid-muridnya, tetapi juga guru bagi bangsa Indonesia.
Buya Syafii bukan hanya seorang tokoh yang menghidupkan sebuah pergerakan komunitas besar seperti Muhammadiyah, tetapi Buya Syafii adalah pendidik bangsa, yang spirit persatuan dan kemanusiaannya tak diragukan lagi. Hidup beliau dipersembahkan untuk mendidik bangsa ini bagaimana membangun persatuan dalam keberagaman.
Sumber: David Krisna Alka & Asmul Khairi (ed.), “Mencari Negarawan; 85 Tahun Ahmad Syafii Maarif”, (2021)
Penyunting: Nirwansyah