Mahli Zainuddin Tago
Ketua Badan Pengurus Lazismu Pusat
Ketika kuliah di Pondok Shabran/FIAI Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada 1986-1991, ada dua kelompok aktivitas mahasiswa: kampus dan kampung. Tentu ini tidak boleh mengganggu kegiatan akademik. Kegiatan kampus melalui banyak organisasi kemahasiswaan. Sedangkan kegiatan kampung meliputi pembinaan jamaah masjid di kampung-kampung seputar Shabran. Para mahasiswa dipersilahkan memilih aktivitas sesuai minat masing-masing. Aku memilih banyak terlibat dalam kegiatan kampus terutama dalam penerbitan majalah mahasiswa. Sedangkan Kang Man, sebut saja begitu, kakak satu angkatan di atasku yang menjadi inspirasi cerita ini lebih memilih membina jamaah masjid di sebuah kampung di Desa Makamhaji, Solo.
Pada semester-semester akhir sebagai mahasiswa Pondok Shabran, kami harus mengikuti Mubaligh Hijrah. Selama bulan Ramadan kami baik aktivis kampus maupun aktivis kampung dikirim ke kawasan pedesaan di berbagai penjuru Solo dan sekitarnya. Pada 1990 aku berangkat ke Desa Karang Tengah di Kecamatam Weru, Kabupaten Sukoharjo. Sedangkan Kang Man terjun ke dusun Ndeles di Kecamatan Kemalang, Klaten.
Kang Man sangat menikmati program ini. Buktinya dia mengikuti program selama dua Ramadan. Ketekunan membina jamaah masjid di sekitar Shabran mendasari kecintaan membina jamaah di tempat yang lebih jauh di lereng Gunung Merapi itu. Di samping itu, dalam wilayah yang sama ada peserta lain yang merupakan mahasiswa FIAI UMS non-Shabran. Sebut saja namanya Mbak Tik, yang belakangan dipersunting Kang Man dan menjadi pasangan hidupnya di masa depan.
Pada September 1991 kami wisuda dengan gembira. Kami berhasil menyelesaikan studi di FIAI UMS tepat waktu, lima tahun. Ini waktu tercepat untuk ukuran studi strata satu pada masa itu. Di samping ujian reguler di fakultas, kami juga harus lulus ujian negara untuk banyak mata kuliah yang diselenggarakan Kopertais Wilayah Jawa Tengah. Meski Kang Man kakak angkatanku, kami wisuda satu periode. Bersama aku juga ikut wisuda Ayu teman sekelas yang dua minggu setelahnya aku persunting di kampung halamannya di lereng Gunung Muria di Jepara. Aku tidak tahu pasti apakah Mbak Tik juga wisuda bersama kami saat itu. Aku memang belum kenal Mbak Tik, karena beliau kakak kelas dan tidak tinggal di Pondok Shabran sebagaimana Ayu teman sekelasku.
Pascawisuda kami pulang ke daerah masing-masing. Sebagai utusan dari berbagai daerah, mahasiswa Shabran memang harus kembali ke daerah masing-masing. Kami menjalani dua tahun masa pengabdian. Sebulan pascawisuda dan menikah, aku dan istri segera kembali ke Jogja untuk bekerja dan mengabdi. Aku meniadi pembantu, bahasa kerennya Sekretaris Eksekutif, di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Jogja. Kang Man juga kembali ke PDM yang mengutusnya. Karena pada masa itu belum ada HP dan kami sama-sama tidak memiliki kendaraan pribadi, maka kami jarang berkomunikasi dan jarang bertemu. Awal 1992 nasib baik membawa aku diterima menjadi dosen di UMY. Beberapa bulan kemudian, Kang Man diterima menjadi dosen di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) lainnya di Jogja.
Sebagai orang yang tekun dan lurus, Kang Man nampaknya disenangi teman-temannya sesama dosen. Pada suatu periode, beliau terpilih menjadi dekan di fakultasnya. Pada masa ini, aku juga merasakan menjadi dekan di UMY. Menariknya, pada periode ini ada beberapa orang temanku sesama alumni Shabran menjadi dekan di PTM masing-masing. Bang Ben menjadi dekan FAI UHAMKA Jakarta dan Wahab menjadi Dekan FAI UM Mataram.
Pada suatu ketika tanpa rencana kami reuni kecil di UMS dalam acara Majelis Dikti PP Muhammadiyah. Acara ini diikuti dekan-dekan FAI PTM se-Indonesia. Kami sangat bahagia karena bisa berkumpul kembali di almamater tercinta. Kebahagiaan kami makin menjadi karena bersama kami ada dekan FIAI UMS, yaitu Pak Fattah Santoso. Dulu beliau adalah direktur Pondok Shabran ketika kami menjadi mahasantrinya. Kebahagiaanku sendiri bercampur dengan haru ketika pada salah satu sesi aku menjadi pembicara. Di podium, aku duduk bersebelahan dengan Pak Fattah sebagai sesama dekan. Saat giliran berbicara suaraku sempat tersendat karena rasa syukur yang membuncah. Aku tidak pernah membayangkan akan berada pada posisi sampai sejauh itu.
Karir Kang Man terus berkembang di kampusnya. Aku menjadi dekan hanya satu periode. Pada pencalonan periode kedua aku mengundurkan diri. Bagiku tantangan kepemimpinan di penddikan tinggi pada era disruptif makin berat dan ini memerlukan orang baru yang lebih segar. Sedangkan Kang Man melanjutkan kepemimpinanya untuk periode kedua. Belakangan Kang Man bahkan terpilih menjadi Wakil Rektor yang membidani Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.
Terkait hal tersebut, Kang Man bercerita bahwa ini lebih karena nasib baik. Beliau dilihat sebagai sosok yang moderat yang bisa merangkul berbagai pihak. Ideologi kemuhammadiyahan Kang Man tidak diragukan lagi. Meski tidak pernah menjadi pengurus IMM, Kang Man dibela salah satu Ketua di PP Muhammadiyah. Konon beliau berucap “dia ini kan alumni Shabran, sekolah kader tingkat Pendidikan tinggi. Jadi kemuhammadiyahannya tidak perlu diragukan lagi.”
Meski dua periode menjadi dekan dan kini menjadi Wakil Rektor, Kang Man tetap menjaga jati dirinya sebagai orang yang sederhana. Sederhana dalam arti yang sesungguhnya. Suatu waktu aku bertamu ke rumahnya bersama beberapa alumni Shabran. Setelah agak lama beliau baru menemui kami. Ternyata saat kami datang beliau sedang mencangkul di sawah. Jadi perlu membersihkan diri beberapa waktu. “Aku baru olahraga,” katanya ceria. Kang Man tetap setia menggarap sawah yang berada di samping rumahnya di Pandak Bantul.
Pada sisi lain, sebagai mubaligh, Kang Man menjadi anggota Majelis Tablig PDM Bantul. Dalam hal ini Kang Man aktif membina jamaah di masjid-masjid di sekitar kampungnya. Rupanya hobi lama membina jamaah masjid saat di Shabran dan saat Mubaligh Hijrah di Ndeles terus beliau lanjutkan. Bahkan, belakangan aku baru tahu bahwa Kang Man adalah seorang Pak Modin di kampungnya. Subhanallah.
Sejak pandemi Covid-19 melanda, aku jarang bertemu Kang Man. Pertemuan terakhir kami melalui online. Saat itu kami menyelenggarakan takziyah virtual atas wafatnya kakak kelasku di Pondok Shabran yang adalah teman seangkatan Kang Man, yaitu Ustadz Lolon Sumarlan guru SMA Assalaam Solo. Lalu sampailah pada Ahad, 17 Oktober 2021.
Azan Ashar baru saja berkumandang ketika sebuah berita mengejutkan muncul viral di grup-grup WA kami sebagai alumni Shabran. Mbak Tik, istri Kang Man, baru saja mendahului kami. Ini mengejutkan karena tidak ada kabar tentang sakitnya Mbak Tik sebelumnya. Tiga hari kemudian aku bersama istriku bertakziyah offline ke rumah Kang Man. Dalam suasana yang sendu, sore itu kami mendengarkan banyak cerita Kang Man. Bahwa Mbak Tik ternyata sudah dua tahun menderita penyakit semacam kanker darah yang belum ditemukan obatnya.
Kang Man nampak ikhlas melepas kepergian ibu dari tiga anaknya ini. Selama sakit, Kang Man telah mendampingi almarhumah menjalani berbagai terapi dan pengobatan panjang. Mbak Tik juga wafat di hadapan Kang Mang sendiri di ruang perawatan RSU Sarjito. Selama almarhumah disemayamkan, pemakaman, dan berbagai rangkaian sesudahnya, Kang Man terlibat langsung. Semua diselenggarakan sesuai paham agama Kang Man sebagai orang Muhammadiyah.
Para Modin di desa Kang Man dan warga sekitar menyerahkan sepenuhnya detil penyelenggaraan jenazah pada Kang Man. Dalam hal ini Kang Man memiliki legalitas dan legitimasi yang kuat. Beliau adalah suami Mbak Tik, beliau adalah wakil rektor di sebuah Universitas Muhammadiyah, dan beliau adalah seorang Modin di kampungnya. “Yarhamhallahu Azza wa Jalla, Mbak Tik. Tetap ikhlas dan istikamah njih Kang Man. Doa kami menyertaimu.”
Penyunting: Nirwansyah