Mirip dengan Bung Hatta, Buya Syafii adalah cendekiawan kelahiran Minang. Jika Moh. Hatta belajar ke Belanda, Ahmad Syafii Maarif ke Amerika. Keduanya juga penulis yang sangat prolifik dan artikulatif
Hajriyanto Y. Thohari
Mantan Wakil Ketua MPR RI; salah seorang pemrakarsa Gerakan Sosialisasi Empat Pilar Bangsa; Duta Besar LBBP RI di Beirut; dan Ketua PP Muhammadiyah
Betul, tugas BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) adalah membentuk undang-undang dasar atau konstitusi dan masalah-masalah lain yang mendasar yang perlu dimasukkan dalam konstitusi. Tapi, pertanyaan Ketua BPUPKI dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat ketika memimpin sidang tanggal 29 Mei 1945, “Negara Indonesia merdeka yang akan kita bentuk, apa dasarnya?” itu tetap saja menimbulkan pertanyaan sejarah. Sebuah pertanyaan yang melahirkan pertanyaan.
Siapakah dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat yang menjadi ketua BPUPKI itu sebenarnya? K.R.T. Radjiman lahir di Yogyakarta dari seorang ayah Sutrodono, pensiunan tentara, yang berdarah Bugis dan ibu dari Gorontalo. Dia anak yang sangat pintar dan cerdas, yang karena dorongan keluarga pamannya, dr. Wahidin Sudirohusodo, dapat menikmati pendidikan sampai School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) dan lulus pada 22 Desember 1898, bahkan sampai bisa melanjutkan studinya ke negeri Belanda. Pintar sekali!
Meski menjadi dokter pribadi Susuhunan Keraton Surakarta—sehingga diberi gelar K.R.T., singkatan Kanjeng Raden Tumenggung, namun dr. K.R.T. Radjiman adalah pribadi yang sangat populis alias merakyat; dokter yang banyak berkeliling ke desa-desa untuk menolong rakyat kecil di daerah Ngawi dan sekitarnya. Beliau kemudian tinggal menetap di Walikukun, Ngawi, Jawa Timur, dan ketika wafat dimakamkan pula di sana.
dr. K.R.T. Radjiman memang tokoh dan aktivis Boedi Oetomo (BO), tetapi saya rasa sikap dan pemikiran-pemikiran ideologisnya, apalagi yang dalam bentuk tulisan, tidak begitu terkenal seperti Sukarno, Moh. Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Natsir, dan lain-lainnya, yang notabene banyak menuliskan pikiran-pikirannya. Barangkali dr. K.R.T. Radjiman tidak banyak menuangkan pemikiran-pemikiran dan pertanyaan-pertanyaan ideologisnya dalam tulisan, artikel, atau buku seperti tokoh-tokoh nasional yang sebagian tersebut di atas. Atau, mungkin juga, ini tidak mustahil, kita saja yang belum menemukan karya-karya tulis beliau yang bersifat ideologis karena belum diterbitkan dalam bentuk buku atau tulisan.
Walhasil, ketika dr. K.R.T. Radjiman selaku ketua BPUPKI memimpin sidang pada 29 Mei 1945, dan mengajukan pertanyaan yang sangat historis, “Negara Indonesia merdeka yang akan kita bentuk ini apa dasarnya?” memang agak mengejutkan. Kenapa tiba-tiba beliau tampil bak seorang pemikir politik dan ideologi kenegaraan dengan mengajukan pertanyaan itu—spontan atau dipersiapkan sebelumnya. Apakah pertanyaan tersebut murni dari pikiran dr. K.R.T. Radjiman sendiri, ataukah pertanyaan yang memang diusulkan dan disepakati para anggota BPUPKI saat itu?
Sungguh, belum ada informasi yang valid yang matang dan sanadnya nyambung sampai kepada kita. Walhasil, pertanyaan-pertanyaan yang sekali lagi meskipun spekulatif itu, tetaplah sangat menggelitik secara intelektual.
Mungkin malah ada juga orang yang lebih spekulatif lagi, menanyakan siapa yang membisiki dr. K.R.T. Radjiman untuk mengangkat tema besar yang sangat mendasar itu? Jika ada orang lain yang membisikinya, maka pertanyaan spekulatif berikutnya adalah siapakah orang lain tersebut? Atau, apakah pertanyaan tersebut merupakan titipan dari seseorang atau beberapa orang anggota BPUPKI sendiri? Apakah pertanyaan itu pertanyaan yang dipersiapkan secara sengaja antara dr. K.R.T. Radjiman dengan seseorang yang merasa sudah siap dengan jawaban atas pertanyaan tersebut?
Berbagai pertanyaan lainnya yang bersifat spekulatif yang sedikit usil dapat saja diajukan dalam pengandaian historis itu. Namanya juga spekulasi yang sedikit usil. Pertanyaan adalah pertanyaan yang melahirkan pertanyaan pula. Bahkan beberapa pertanyaan, pertanyaan-pertanyaan!
Moh. Hatta pun Bertanya
Meskipun spekulatif, tetapi pertanyaan dr. K.R.T. Radjiman tidak pula dapat dianggap enteng. Bagaimana tidak, bahkan terhadap pertanyaan Ketua dr. K.R.T. Radjiman tersebut, seorang Moh. Hatta pun menyatakan, “Kebanyakan anggota Panitia itu tidak mau menjawab pertanyaan yang tentunya sangat filosofis itu. Mereka khawatir perdebatan tentang itu akan berlarut-larut menjadi diskusi filosofis. Mereka memusatkan pikirannya pada soal pembentukan Undang-Undang Dasar.” Kalimat ini diucapkan Moh. Hatta lagi dalam pidatonya di Universitas Indonesia (UI) tatkala menerima penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa yang berjudul, Menuju Negara Hukum (Yayasan Idayu, Jakarta, 1980, hal. 15) dan diulang lagi dalam memoarnya (Tintamas, Jakarta, 1978, h. 432) yang sangat terkenal dan bernilai historis itu.
Moh. Hatta malah lebih eksplisit lagi mengatakan bahwa sebagian besar anggota BPUPKI tidak mau menjawab pertanyaan itu karena khawatir akan mengundang perpecahan dan akan memakan waktu yang lama. Moh. Hatta sendiri termasuk anggota yang tidak mau menjawab pertanyaan dr. K.R.T. Radjiman itu dalam sebuah pidato seperti Sukarno pada 1 Juni 1945 yang sangat fenomenal dan historis, yang kini dikukuhkan sebagai Hari Kelahiran Pancasila itu. Posisi politik Moh. Hatta tentang agama dan negara biasanya dirujuk dari pidatonya yang sangat bagus yang disampaikan dalam Sanyo Kaigi yang berjudul, “Agama dan Negara”,beberapa waktu sebelum terbentuknya BPUPKI.
Moh. Hatta memang tidak selalu benar. Tetapi, Moh. Hatta selalu banyak benarnya daripada salahnya. Lihat saja, ternyata kekhawatiran Moh. Hatta benar-benar menjadi kenyataan. Pertanyaan itu bukan hanya mengundang perdebatan filosofis, melainkan juga perbedaan-perbedaan tajam, dan polarisasi politik dalam tubuh bangsa yang terus berlangsung sampai hari ini, bahkan entah sampai kapan nantinya. Karena polarisasi politik yang tidak kunjung mereda itu malah setidaknya sebuah pengandaian sejarah diajukan oleh sementara sejarawan, “Ah, seandainya saja dr. K.R.T. Radjiman tidak mengajukan pertanyaan yang mirip kotak pandora itu.”
Buya Ahmad Syafii Maarif, misalnya saja, adalah sejarawan pertama yang mengajukan pengandaian itu. Dalam tesis masternya pada Jurusan Sejarah di Ohio University, Amerika, yang kemudian diterbitkan menjadi buku Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (Penerbit IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta, cet. 1, 1988, h. 27), itu Buya Syafii mengangkat pengandaian ini sebagai berikut, “Seandainya dr. K.R.T. Radjiman sebagai ketua BPUPKI yang sedang memimpin sidang pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 tidak mengajukan pertanyaan tentang dasar negara yang hendak didirikan tersebut mungkin situasi dan perkembangan politik negara kita agak menjadi lain.”
Mirip dengan Bung Hatta, Buya Syafii adalah cendekiawan kelahiran Minang. Jika Moh. Hatta belajar ke Belanda, Ahmad Syafii Maarif ke Amerika. Keduanya juga penulis yang sangat prolifik dan artikulatif dalam berbagai permasalahan kerakyatan, keumatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Keduanya juga seorang Muslim yang sangat alim dan sangat saleh, sekaligus dalam satu tarikan napas, amat sangat mencintai bangsa dan negaranya lahir batin sampai tembus ke dasar hatinya yang paling dalam. Keduanya juga orang yang sangat takut pada Tuhan.
Bedanya, Moh. Hatta sejak dari awalnya, sejak di Belanda, telah tampil sebagai nasionalis dan berpandangan memisahkan oeroesan negara dan oeroesan agama. Sementara Ahmad Syafii Maarif, seperti pengakuannya sendiri, pada awalnya fundamentalis dan kemudian berubah menjadi nasionalis. Di Amerikalah, dia mulai berubah.
Sangat meyakinkan ketika memimpin Muhammadiyah, Buya Syafii sudah menjadi seorang nasionalis. Tegasnya, Muhammadiyah yang kemungkinan besar memaripurnakan nasionalis(-me) Ahmad Syafii Maarif. ‘Ala kulli hal, kedua tokoh bangsa ini sangat mendambakan sebuah persatuan nasional yang paripurna agar integrasi bangsa ini dapat diwujudkan dalam pengertian yang sebenarnya.
Sangatlah menarik, dan sangatlah meyakinkan, pandangan keduanya sama dalam memandang pertanyaan dr. K.R.T. Radjiman, bukankah situasi dan kondisi politik pada hari-hari itu sangat genting dan krusial, ketika kesempatan tidak panjang untuk memproklamasikan kemerdekaan? Pertama, mumpung Jepang yang menguasai Indonesia saat itu sedang keteteran karena di ujung tubir kekalahan dalam perang melawan sekutu yang kemudian dikenal dengan nama PD II.
Kedua, pemerintah kolonial Belanda yang didukung sekutu yang ingin segera kembali ke tanah jajahannya setelah dikalahkan dan diusir dari Nusantara oleh bala tentara Dai Nippon pada 1942, belum juga tiba. Pada tahun 1945 itu, Belanda dengan dukungan sekutu sedang bersiap-siap kembali ke tanah jajahannya, apalagi Jepang pun sudah menandatangani perjanjian dengan sekutu untuk tidak mengubah status quo Hindia Belanda.
Moh. Hatta menyadari, sebagaimana saya rasa semua founding fathers saat itu juga menyadarinya, bahwa suasana saat itu memang sangat genting. Salah-salah bisa gagal terbentuknya negara Indonesia yang merdeka. Pertanyaannya, mengapa dalam suasana yang menurut penuturan banyak orang konon katanya genting itu dr. K.R.T. Radjiman justru mengajukan pertanyaan yang sangat penting itu?
Mengapa seorang dr. K.R.T. Radjiman sebagai ketua BPUPKI tidak menyimpan dulu pertanyaan itu? Jangan-jangan, demikian kira-kira kata Buya Syafii, sebagai tokoh yang bisa diduga termasuk golongan kebangsaan, dr. K.R.T. Radjiman takut Indonesia akan menjadi Negara Islam dan karena itu sedini mungkin harus dicegah dengan memastikan dasar negara yang akan didirikan dalam sidang BPUPKI itu juga! Jika dugaan ini benar, tentu kekhawatiran dr. K.R.T. Radjiman tidak beralasan. Pasalnya, menurut hitung-hitungan Prawoto Mangkusasmito, dari 68 anggota BPUPKI, kira-kira 15 orang saja yang mewakili “golongan Islam.” (Prawoto, Perumusan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, Jakarta, Hudaya, 1970, h. 10).
Rel Kereta Api Itu
Benar adanya, jauh sebelum dibentuk BPUPKI sudah ada perdebatan-perdebatan tentang posisi Islam dalam negara. Tetapi, semuanya terjadi dan berlangsung hanya dalam perdebatan akademik dan ideologis yang sifatnya sangat polemik. Misalnya, perdebatan antara Sukarno versus Natsir dan lain-lainnya, yang sifatnya academic and intellectual exercise belaka.
Memang pernah terjadi juga yang agak bersifat kelembagaan, yaitu perbincangan dalam Sanyo Kaigi (Badan Penasihat yang didirikan penguasa Militer Jepang) antara Bung Hatta, Soepomo, dan Abikusno Tjokrosujoso. Tetapi, Sanyo Kaigi hanyalah badan penasihat untuk memberi nasihat kepada penguasa bala tentara Jepang belaka. Hal ini menjadi lain ketika BPUPKI, sebuah lembaga politik “resmi”, harus mengambil keputusan. Berbeda dengan perdebatan dan perbincangan sebelumnya yang bersifat akademik atau polemik, begitu masuk politik (baca: BPUPKI) sebuah keputusan harus diambil (Moh. Hatta, Memoir, h. 432-433).
Pertanyaan dr. K.R.T. Radjiman nyatanya hanya berhasil memancing jawaban kurang dari 10 anggota BPUPKI yang seluruhnya berjumlah 68 orang. Tetapi, jawaban-jawaban itulah yang sampai hari ini menimbulkan resonansi dan reperkusi yang tiada henti. Ada jawaban-jawaban kebangsaan dan keislaman. Jawaban-jawaban kebangsaan melahirkan golongan kebangsaan. Jawaban-jawaban Islam melahirkan golongan Islam. Setelah itu, golongan kebangsaan melahirkan partai-partai kebangsaan, dan golongan Islam melahirkan partai-partai Islam. Kata Moh. Hatta, inilah ‘dua golongan besar yang hebat’ di negeri ini!
Sekali lagi, mengutip Moh. Hatta, itulah ‘dua golongan besar yang hebat’ di negeri ini. Inilah dua golongan besar bak rel kereta api yang sampai hari ini tidak selalu bertemu, untuk tidak mengatakan ‘lebih banyak tidak pernah bertemu’. Kereta Indonesia tetap berjalan, tetapi di stasiun mana pun kedua rel kereta itu tidak pernah bertemu secara jujur dan sejati.
Gara-gara pertanyaan dalam sidang BPUPKI (1945) terjadilah perdebatan sengit dalam ‘stasiun’ Dewan Konstituante sepuluh tahun kemudian (1955-1959). Perdebatan yang tak berujung di Dewan Konstituante berujung pada keluarnya Dekrit Presiden 1959, yang intinya kembali ke konstitusi UUD 1945 dan pembubaran Dewan Konstituante.
Berikutnya, ‘stasiun-stasiun’ kecil lainnya, kedua golongan besar itu terus saja saling curiga, seolah yang satu ingin menghancurkan yang lain. Terjadi pada ‘stasiun’ Orde Baru, Reformasi, Pilgub DKI 2018, Pilpres 2019, dan mungkin akan terus terjadi entah sampai kapan. Satu pihak mengatakan yang lain sebagai anti-Pancasila. Pihak yang dituduh, balik menuding lawannya sebagai PKI. Satu pihak menuding yang lain hendak membuat negara Islam, dan yang dituding balik menuduh penuding hendak membuat negara sekuler.
Ah, seandainya saja dr. K.R.T. Radjiman tidak mengajukan pertanyaan tersebut di sidang BPUPKI. Juga, seandainya keengganan Bung Hatta saat itu didengar dengan arif, “Mungkin perkembangan Indonesia saat ini akan lain,” ujar Buya Syafii, guru bangsa yang kini berusia 85 tahun. Tapi, ngomong-omong, apakah sejarah mengenal kata ‘seandainya’? There is no ‘if’ in history. Wāllahu a’lam bi al-shawāb.
Sumber: David Krisna Alka & Asmul Khairi (ed.), “Mencari Negarawan; 85 Tahun Ahmad Syafii Maarif”, (2021)
Penyunting: Nirwansyah