Nurbani Yusuf
Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu
Kyai Dahlan suatu sore di langgar Kidul ditanya para santrinya: “Kyai, apakah tidak ada surat lain selain al-Ma’un? Pertanyaan ini terpaksa mengemuka, sebab para santrinya mulai jengah dengan ngaji al-Ma’un yang diulang-ulang padahal semua santrinya sudah pada hapal.
Jawaban Kyai Dahlan sungguh menyentak, apakah kalian sudah amalkan? Sontak para santrinya kaget—sebagian saling berpandangan. Jawaban Kyai Dahlan menerabas masuk dalam pikiran mandek selama puluhan tahun dalam tradisi mapan.
Carl Whiterington, seorang peneliti senior dari Chicago University menyebut Kyai Dahlan bukan sekedar ulama, tapi seorang pragmatikus agama yang briliant, sebuah padanan yang sangat ampuh menerabas jumud dan berpikir beku.
Konon para santrinya kemudian ada yang pergi ke pasar dan lorong-lorong mencari orang miskin dan anak yatim untuk dimandikan, diberi makan dan pakaian, belakangan menjadi awal lahirnya panti asuhan. Tidak hanya itu, Kyai Dahlan juga menyaingi gerakan Freemansory milik Kresten-Yahudi yang dominan, dengan mengubah sistem pendidikan Islam.
Kyai Dahlan juga merombak cara berpikir jumud dengan mendirikan sekolah mirip Freemansory dan menyetujui usulan Kyai Sudja’ salah satu santrinya mendirikan rumah sakit yang terus didebatkan hingga kini, karena masih ada yang mengaggap tasyabuh.
Ngaji hapalan juga bukan yang diinginkan Kyai Dahlan. Al-Ma’un adalah teologi yang membebaskan—dari sini gerakan perubahan dan pembaharuan di mulai. Kyai Dahlan melakukan modernisasi bukan purifikasi—ampai saat saya menulis ini, saya belum temukan dokumen jargon kembali kepada Al-Quran dan As Sunnah keluar dari lisan Kyai Dahlan. Pemberantasan TBC penting, tetapi tidak menjadi agenda utama.
Prof Ahmad Jainuri memilah gerakan Kyai Dahlan menjadi tiga prioritas: pertama, pemberdayaan ekonomi. Kedua, memperbaharui pendidikan. Ketiga, purifikasi agama. Inilah yang membedakan Muhammadiyah dengan gerakan Islam lain.
Yai Dahlan yakin bahwa TBC akan hilang apabila masyarakat diberi pendidikan yang cukup. Oleh karena itu, empat majlis yang awal didirikan adalah: Majlis PKO, Majelis Poestaka, Majelis Pendidikan, dan Majelis Tabligh.
Majlis Tabligh berfungsi juga sebagai humas untuk menyosialisasikan program pembaharuan Muhammadiyah, karenanya tidak hanya seperti yang dipahami oleh kebanyakan warga Muhammadiyah sekarang ini yang menyamakan tabligh sama dengan majlis dakwah.
Mbah Hasyim (Kyai Hasyim Asy’ari) dengan NU pun demikian. Pesantren sebagai pilar gerakan menjadi daya dorong energi terbarukan. Keberpihakan pesantren terhadap umat di lapis bawah sungguh menakjubkan. Pesantren adalah ruh paling mendasar dalam menjaga moderasi Islam—peran mediasi inilah yang sangat urgen.
Surga
Berbeda dengan tipikal dua ulama, Juraij seorang abid ahli ibadah masa Nabi Musa as—jangan tanya lama shalatnya, panjang pula dzikirnya—adalah seorang ahli ibadah yang sangat saleh dan khusyu’. Hingga suatu saat ibunya memanggil, karena air dalam geribanya kosong dan bermaksud meminta Juraij memenuhinya.
Akan tetapi, Juraij abaikan panggilan ibunya hingga kali yang ketiga, karena shalatnya sungguh melenakan dan membuatnya enggan keluar dari mihrabnya yang harum dan putaran tasbihnya penuh karamah. Bahkan, terhadap ibunya saja Juraij tidak bisa memberi manfaat.
Rasulullah SAW pun bertutur: “Andai Juraij seorang ahli ilmu (ulama) ia akan penuhi panggilan ibunya kemudian ia teruskan shalatnya.” Untuk hal semacam itu, maka Syaikh Hasan Bashri berkata: “Berpikirnya ulama sejenak, lebih baik dibanding ibadahnya seorang abid puluhan tahun.” Sebab abid hanya memikirkan tentang dirinya, sedangkan ulama berusaha keras memberi maslahat bagi dirinya dan umat yang lebih besar. Nabi SAW pun enggan masuk surga sebelum mendapat kepastian dari Jibril as tentang berapa persen umatnya yang bakal masuk surga.
Prinsip ‘sebaik-baik kalian adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain’ inilah yang utama. Bukan hanya kesalehan personal yang dibangun. Tepatnya bukan hanya memberi makan orang miskin, tetapi ‘mengajak orang lain’ untuk ikut memberi makan.
Penyunting: Nirwansyah