Heru, Sastrawan Indonesia dari Payakumbuh. Pernah menerbitkan buku puisi berjudul Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa (2017). Dari karyanya ini, Heru mencoba mengolah ragam peribahasa, pepatah maupun pantun ke dalam metafor sajak kini. Kita menemukan suatu ‘bentuk’ yang boleh dikata segar dan terbilang kaya menautkan asosiasi dengan karya-karya bahasa Nusantara.
Menurut catatan budaya Bentara Jakarta, Heru secara jelas memberikan petunjuk bagi pembaca untuk menautkan asosiasinya dengan peribahasa-peribahasa tertentu, seperti yang tertera dalam puisinya yang berjudul Ada Garam Ada Semut, Katak di Atas Tempurung, Gajah di Seberang Lautan dan Semut di Seberang Lautan atau pun yang bertajuk Udang di Depan Batu.
Tentu, menarik untuk menelisik seperti apa proses kreatifnya dalam mengolah kekayaan bahasa Nusantara ini ke dalam puisi-puisi baru suatu upaya yang tentu membutuhkan keberanian dalam memberi makna ulang bagi ragam susastra yang sudah terlanjur melekat dalam benak pembaca di Indonesia.
Heru yang gagah itu hadir di tanah Minang pada 13 Oktober 1990, di Payakumbuh, Sumatera Barat. Buku puisinya itu; Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa tampil sebagai Lima Besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kategori Puisi serta mengantarkannya sebagai Tokoh Seni Pilihan TEMPO 2017.
Heru Joni Putra kini aktif sebagai kurator seni di Galeri Studio Hanafi, Depok. Buku puisi pertamanya Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa (Nuansa Cendekia, 2017) memperoleh penghargaan Buku Sastra Terbaik 2017 oleh Majalah TEMPO dan telah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh George A. Fowler dengan judul The Mystical Path of Badrul Mustafa (Lontar, 2019).
Comments 1