Ahsan Jamet Hamidi
Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso, Ciputat Timur
Minggu lalu, saya menonton pertunjukan sebuah group musik lawas yang dulu sangat terkenal di Komunitas mahasiswa IAIN – sekarang UIN – Ciputat. Ia adalah group “The Beatles” nya kampus. Satu-satunya group musik kampus yang konsisten menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris, besutan The Beatles dan John Lennon.
Tiga (3) dari empat (4) personil group ini memang mahasiswa Fakultas Tarbiyah, jurusan Bahasa Inggris saat itu era 90 an. Mereka adalah pendiri Komunitas “English Beatles Fans Club”. Kelompok ini tidak semata-mata tampil menghibur orang lain. Mereka sangat konsisten dalam merawat budaya berkesenian dalam Bahasa Inggris di kampus.
Para personil kelompok musik ini semua laki-laki. Perawakan mereka semua jangkung, kurus, dan dulu selalu berambut gondrong. Sebagai mahasiswa yang memiliki talenta musik dan bernyanyi, mereka tergolong “cakep” lah. Lumrah jika dulu pernah menjadi idola para mahasiswi di era 90 an.
Bulan Desember 2022 lalu, mereka tampil menyanyikan 7 lagu dalam ajang #IKULIN AWARD di Kampus UIN Ciputat. Formasi mereka lengkap. Untuk ukuran seseorang yang sudah berumur kepala 5 plus, mereka kelihatan bugar dan lincah dalam memainkan music dan berbagi peran. Harmoni koor dan warna vocalnya tidak berubah. Enak di telinga.
Kocokan gitar (rhythm) Andre, betotan bas dan petikan piano Iwan Buana, gebukan drum Cecep dan lengkingan suara Tepi sebagai lead vocal, masih tetap apik dan memukau. Mereka tampil dengan kualitas sound system yang jauh lebih baik dibandingkan 30 tahun lalu. Lantunan lagu-lagu The Beatles yang dekat di telinga penonton, tetap bisa dibawakan dengan enak, gurih, orisinil tanpa banyak bumbu.
Saya pertama kali menonton pertunjukan kelompok musik ini pada tahun 1988. Saat menjadi mahasiswa baru di IAIN Ciputat. Di atas panggung Auditorium Kampus IAIN (saat itu) yang sangat sederhana, mereka memainkan lagu-lagu The Beatles dengan tampilan khas dan rapi sekali. Penonton, yang saat itu adalah para mahasiswa baru yang sedang mengikuti penutupan Orientasi Mahasiswa, tidak sadar ikut menggoyang-goyangkan tubuhnya tanpa sadar.
Saat Tepi menyanyikan lagu “I Saw Her Standing There”. Saya dan ratusan mahasiswa lain larut dalam kegembiraan. Kami berjingkrak, berjoget kegirangan. Gedung sederhana yang sama sekali tidak dipersiapkan sebagai wahana pertunjukan seni musik dan teater itu tidak menjadi hambatan sama sekali. Kerinduan para mahasiswa baru pada lagu-lagu The Beatles bisa terpenuhi oleh Iwan Buana dan kawan-kawan
Tidak Tampak Penting
Setelah 34 tahun berlalu, saya bersyukur bisa menikmati kembali tampilan mereka. Tampilan merka pada malam itu ada yang sedikit berbeda. Tepi, sebagai lead vocal, biasanya bernyanyi sambil memainkan petikan melodi. Kali ini peran itu digantikan oleh Ono. Seorang gitaris professional yang memiliki jam terbang tinggi. Tepi bernyanyi tanpa membawa gitar.
Group music lawas ini tampil dengan menyanyikan 7 judul lagu; “Help”, “Day Triper”, “Something”, “I Saw Her Standing There”, “Oh Darling”, “Let it Be” dan “Hey Jude”.
Ketika Tepi memulai menyanyikan lagu
Something in the way she moves
Attracts me like no other lover
Something in the way she woos me
I don’t want to leave her now
You know I believe and how
Petikan gitar melodi sebagai intro lagu ini sungguh sangat sempurna. Pandanganku tertuju pada sosok Ono. Dia sedang memainkan peran sebagai lead guitar. Meski perannya sangat utama, dia memilih tempat bermain di ujung pojok panggung. Nyaris tidak pernah tersorot oleh lampu. Peran dan sosoknya tidak kelihatan oleh penonton. Sorot lampu memang lebih banyak tertuju pada personil lainnya.
Saya cukup paham, bahwa peran Ono pada pertunjukan malam itu sangatlah penting. Apalah jadinya ketika lagu-lagu The Beatles yang masyhur itu dinyanyikan tanpa petikan melodi yang Indah. Sehebat apapun perpaduan permainan bas, rhythm, dan drum yang berpadu dengan suara koor Tepi, Andre dan Iwan dalam menyanyikan lagu-lagu The Beatles, pasti akan terasa kurang, jika dimainkan tanpa petikan melodi gitar dari Ono. Ibaratnya, makan sayur asam tanpa garam. Hambar, pastinya.
Meski ada peran penting yang sedang disandang dirinya, namun Ono memilih menjadi seorang “additional player” saja. Posisinya yang nyaris tidak terlihat oleh penonto. Keberadaan dan peran Ono seolah-olah tidak penting dalam pertunjukan musik yang riuh oleh tepuk tangan para penonton di malam itu. Ono, telah ikhlas dan suka cita mengambil peran itu. Memetik gitar dalam kegelapan.
Kemuliaan Hakiki
Dalam kehidupan sehari-hari, saya selalu merindukan kehadiran orang-orang seperti Ono ini. Pribadi yang sesungguhnya memiliki peran sangat penting, namun, tampilannya nyaris tidak pernah terlihat di mata orang lain. Akibatnya, ia sering diabaikan. Mungkin ia tidak akan mendapat apresisai dari khalayak ramai, seperti sanjungan yang diterima oleh kawan-kawan lain sesama pemain musik. Bagi saya, pertunjukan musik yang bagus, adalah perpaduan antara berbagai alat musik dan vocal yang dimainkan secara berasma, penuh harmoni, oleh orang banyak.
Dalam praktik kehidupan du dunia nyata, praktik keikhlasan seperti yang dimainkan oleh Ono dalam bermain music di atas panggung itu memang langka. Hanya orang-orang tertentu, dengan maqom kerendahan hati yang paripurna, yang bisa mengambil peran itu.
Pandangan mata dan batin saya sering sekali keliru. Karena selalu terjebak pada tampilan secara kasat mata. Padahal, apa yang tampak dipermukaan, sama sekali belum mencerminkan maknsa yang seungguhnya. Inti sari dan pesan penting yang sesungguhnya belum tentu bisa mudah tampak.
Saya perlu mengasah ketajaman mata batin, memperdalam ilmu, menakar emosi agar mampu menangkap pesan penting yang tersampaikan secara ghaib.