Pembicara :
- Ismid Hadad, Pendiri LP3ES dan Ketua Dewan Pengurus BINEKSOS
- Prof Hariadi Kartodiharjo, Penulis Buku “Di Balik Krisis Ekosistem”
- Fachruddin M Mangunjaya, Penulis Buku “Generasi Terakhir”.
Resume Diskusi
Ismid Hadad
Bencana alam, sampai wabah pandemi covid 19 yang terjadi pada dekade terakhir memang termasuk luarbiasa yang telah memberikan dampak merusak bagi sektor ekonomi, sosial, dan politik. Bencana alam itu sendiri adalah dampak dari ulah manusia yang melakukan kegiatannya dalam pembangunan, industri, transportasi dan sebagainya. Hal itu semua terjadi dan berdampak kepada rusaknya alam dan lingkungan.
Namun semua itu tidak terjadi seketika, meskipun kita dapat merasakan sepanjang tahun, itu adalah akumulasi dari rangkaian ulah manusia yang membuat sistem kebijakan atau lembaga yang tidak dilakukan dengan tata kelola yang baik dan benar maka dia berubah jadi bencana ekologi dan sosial yang dirasakan sekarang. Itu semua terjadi karena selama ini kita mempraktikkan kegiatan ekonomi atau pembangunan selalu dengan cara-cara eksploitatif. Memanfaatkan sumber daya alam yang dikuras sampai habis tidak bersisa lagi bagi manusia. Ironisnya, manfaat dari eksploitasi itu hanya dirasakan bagi sekelompok kecil orang.
Selama ini pembangunan dilakukan dengan cara merusak lingkungan dan alam, itu jelas tidak bisa lagi diterapkan karena sangat merusak dan merugikan masyarakat. Padahal banyak cara lain pembangunan dengan tanpa merusak dan tetap melestaikan alam. Tidak bisa lagi dibiarkan nafsu ekonomi, nafsu finansial terus membawa bencana dan kerusakan.
Masalah tatakelola harus jadi perhatian serius dan itulah pentignya pengawasan yang lebih efektif dan lebih terkendali oleh masyarakat sipil. Agar masyarakat sipil tidak hanya hanya jadi subordinasi dari pemerintahan. Satu lagi hal serius yang perlu lebih jadi perhatian adalah ancaman kerusakan akibat perubahan iklim yang dampaknya bagi manusia jauh lebih besar dan daya jangkaunya mencapai pelosok mana saja. Satu satunya cara meredam dampak kerusakan akibat perubahan lingkungan adalah dengan melakukan mitigasi dari bencana perubahan iklim tersebut.
Program penurunan emisi karbon oleh Indonesia dianggap masih ragu-ragu dan tidak konsisten sehingga menjadi olok-olok media internasional. Model sistem penurunan emisi yang dimiliki Indonesia juga sudah seharusnya dievaluasi karena dipandang tidak efektif. Penurunan emisi yang paling besar di Indonesia adalah dari hutan, namun model penurunan emisi Indonesia dengan mengkompensasi kerusakan hutan di satu wilayah dengan mengganti di wilayah lain adalah model yang keliru.
Prof Hariadi Kartodiharjo
Terdapat beberapa persoalan mendasar dari karut matur tata kelola lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA):
- Persoalan ketimpangan pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi dasar dari persoalan-persoalan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Termasuk soal-soal politik tata ruang perizinan dan infastruktur.
- Adanya institusional corruption yang merupakan peran lembaga, bukan orang per orang terkait praktik-praktik dan sistem yang korup dalam pemanfaatan tata ruang dan sumber daya alam.
- Adanya tekanan-tekanan nyata dari perusahaan yang beroperasi mengeksploitasi sumber daya alam di daerah dengan didukung oleh militer dan paramiiter setempat sering menjadi hambatan bagi kepala daerah dalam menjalankan program aksi penyelamatan lingkungan hidup di daerah. termasuk peizinan-perizinan ekstraktif yang kini menurut UU Omnibus Law telah menjadi wewenang pemerintah pusat sehingga daerah menjadi tidak berdaya.
- Lingkungan hidup banyak sekali terkait dengan “hukum alam”. Hutan lindung jika dirusak oleh siapapun pasti akan memberikan dampak kerusakan berupa bencana alam yang luarbiasa. Sehingga dari situ perlu keputusan pasti dan bukan hanya persoalan negosiasi politik. tetapi arah politik lingkunan hidup semakin melonggarkan pemanfaatan eskploitasi sumberdaya alam dengan alasan adanya proyek strategis nasional 2021. Namun sayangnya tidak pernah terlihat proyek strategis nasional untuk dukungan bagi kawasan lindung untuk hutan dan alam sekitarnya.
- Persoalan tatakelola dan peran lembaga negara dalam konteks implementasi di lapangan tidak semakin baik, seiring dengan bertambahnya intensitas eksploitasi yang saat ini dipercepat dan berdampak negative pada lingkungan hidup. Program pemberantasan korupsi yang sudah endemik, sudah seharusnya jadi prioritas nasional. Karena tanpa prioritas itu program-program pembangunan banyak dipotong di tengah jalan.
- Peran masyarakat sipil harus terus diperkuat sebagai penyeimbang dari rendahnya kontrol pemerintahan yang sedang berkuasa dan perangkatnya, seperti apa terjadi sekarang ini.
Fachruddin M Mangunjaya
Dimensi etik, di antaranya peran agama perlu diketengahkan kembali dalam kebijakan-kebijakan penyelamatan lingkungan, apalagi jika dikaitkan dengan bencana perubahan iklim pemanasan global yang segera melanda. Praktik-praktik korupsi institusional, kesalahan tatakelola dan lain-lain yang berdampak pada kerusakan lingkungan harus segera disadari sebagai hal memalukan dan harus dihentikan.
Sejak 2015 telah coba diupayakan penyadaran-penyadaran melalui ajaran agama bagi penyelamatan lingkungan bekerjasama dengan berbagai institusi. Ketika terjadi kebakaran hutan dahsyat pada 2015 di Riau sehingga BNPB merasa kewalahan, diadakanlah shalat minta hujan dan seketika terjadi hujan cukup besar. Pendekatan-pendekatan kearifan lokal melalui agama dan tinjauan metafisika yang kerap dianggap tidak ada, kadang-kadang justru membantu.
Sebagai negara yang berkeTuhanan, perlu dilakukan lagi pendekatan-pendekatan spiritual seperti itu dalam penanggulangan kerusakan alam. Pesan-pesan moral sebagaimana ditulis dalam “Generasi Terakhir” perlu disosialikan sebagai generasi terakhir anak manusia yang perlu menyelamatkan Bumi sebagai warisan luhur.
15 Desember 2021