Buya pernah mengatakan “tidak ada Syafii Maarif, jika tidak ada Amien Rais”
Anang Masduki
JIMM
Amien Rais dan Buya Syafii adalah dua orang pendekar dari Chicago (dalam bahasa Gus Dur), yang berasal dari rahim Muhammadiyah. Keduanya bahkan pernah menjabat sebagai ketua umum PP Muhammadiyah. Dan beliau berdua merupakan sahabat sejak muda. Hal itu sering beliau ungkapkan dalam berbagai kesempatan dan tidak pernah dibantah. Namun, perjalanan karir intelektual dan politik keduanya sering berseberangan. Bahkan terkadang cukup keras.
Pada 1 Juni 2022 pikul 19.30 diadakan acara takziah secara daring oleh anak-anak intelektual muda Muhammadiyah. Hadir juga dalam acara tersebut tokoh muda NU, seperti Duta Besar Tunisia, Gus Mis, Dekan FISIP UNUSIA Ahmad Suaedy, Syafiq Hasyim, Zaki Umam, dan lain-lain. Sedangkan tokoh senior dari kalangan Muhammadiyah ada Hajriyanto, Ruhaini Dzuhayatin, Rizal Sukma, Fachry Ali, dan sebagainya. Serta sederet tokoh muda Muhammadiyah, seperti Najib Burhani, Ai Fatimah, Zully Qodir, Hilman Latief, Alimatul Qibtiyah, Tuti Alawiyah Burhani, Budy Asyhari, Hendra Darmawan, Wajiran Wazier, Andar Nubowo. Tak ketinggalan juga budayawan muda Muhammadiyah Jumaldi Alfi.
Ada momen yang cukup membuat saya terkejut, sedih dan juga ngelus dodo. Seorang tokoh muda Muhammadiyah yang aktif di suatu partai menyampaikan testimoninya. Ia menyampaikan bahwa hubungan Amien Rais dengan Buya Syafii tidak baik. Selain itu, ia juga banyak membeberkan “bentuk” perilaku Amien Rais terhadap Buya Syafii.
Mendengar hal itu, saya langsung berinisiatif untuk menyampaikan di kolom chat acara zoom tersebut. Saya sampaikan bahwa itu tidak pantas diungkapkan, karena kita semua dalam kondisi berduka. Selain itu, beliau (Amien dan Buya) merupakan sesepuh Muhammadiyah yang seharusnya kita sebagai anak muda takzim dan hormat.
Saya sampaikan pula kepada kolega saya tadi yang mengkritik Buya dan Amien Rais agar bertabayun dan bersilaturahmi dengan pak Amien dan para sesepuh Muhammadiyah yang lain. Siapa tahu ada perspektif lain atau jika ada pandangan pak Amien yang selama ini tidak tepat bisa “watawa soubil haq, watawa soubissobr”. Banyak orang tahu bahwa kolega saya itu sangat dekat dengan Buya, namun sangat jauh hubungannya dengan pak Amien.
Ungkapan kolega saya tadi yang “cenderung mengungkap aib orang lain”, padahal itu belum tentu benar juga sangat disayangkan oleh tokoh Muhammadiyah yang juga Dubes Inggris Rizal Sukma dan senior IMM Farid Bambang Siswantoro. Karena mengatakan keburukan orang lain itu jika salah maka masuk fitnah, dan walaupun benar itu masuk golongan ghibah. Apalagi ini momentum kita semua bangsa Indonesia berduka atas kepergian Buya Syafii Maarif.
Dalam kesempatan itu, saya juga menyampaikan agar kita semua mau belajar terhadap generasi muda NU dalam konteks mikul duwur mendhem jero terhadap yang lebih tua ataupun sesepuh. Di sini sangat jelas teman-teman NU sangat menjunjung prinsip dalam agama bahwa “jangan sampai kebencian kita terhadap seseorang membuat kita berlaku tidak adil”.
Selain itu, mungkin anak-anak muda NU ini juga sudah nglontok dalam mengimplementasikan kitab Ta’lim Tuta’alim yang mengajarkan adab terhadap guru dalam menuntut ilmu. Di situ jelas bahwa adab itu lebih utama dari pada ilmu. Apalagi, kolega saya yang mengungkapkan tadi adalah jebolan pondok pesantren dan juga kuliah di kampus bergengsi luar negeri. Artinya, secara intelektual cukup matang. Tentu sudah sangat mengerti bagaimana harusnya kita bersikap pada beliau berdua.
Melihat segenap elemen bangsa yang berduka dan merasa kehilangan, kita tidak meragukan kecintaan mereka terhadap Buya Syafii. Hal itu jelas menjadi cerminan dari perilaku, sikap, dan juga perbuatan Buya selama ini. Di mana beliau terkenal zuhud, istikamah, teguh memegang prinsip, ikhlas, dan juga merupakan cendekiawan kemanusiaan. Bahkan Gus Mus (dalam testimoni saat takziah online) menyebut Buya Syafii adalah seorang wali (jika melihat perilaku dan pilihan hidup beliau).
Namun, apakah kemuliaan Buya yang sudah jelas kita lihat bersama masih harus di bela dengan menegasikan kelompok atau orang lain untuk direndahkan atau dijelekkan? Tentu tidak. Apalagi kita yang terkesan dan merasa anak didik maupun pengagum Buya. Tentu Buya akan marah jika mendengar sikap tersebut.
Dalam momen penting bangsa ini, kedua tokoh memang pernah berseberangan secara diametral. Buya Syafii mendukung Ahok untuk tidak melanjutkan kasus penistaan agama ke ranah hukum jika sudah minta maaf. Dan kemudian Buya mendukung Jokowi dalam pilpres. Sedangkan pak Amien mangambil posisi sebaliknya. Banyak orang yang menganggap bahkan mencela Buya atas pilihan Buya mendukung Ahok dan Jokowi. Begitu juga sebaliknya, banyak yang menghujat atas sikap dan kerasnya ucapan pak Amin dalam mengkritik pemerintahan.
Kita tentu sangat menyayangkan ungkapan, ucapan dari banyak orang yang menghujat Buya Syafii dan Amien Rais. Dan sayangnya lagi, sikap menghujat sesepuh bangsa, tokoh Muhammadiyah itu dilakukan oleh internal Muhammadiyah. Sungguh sebuah sikap yang sangat disayangkan.
Dalam berbagai kesempatan, pak Amien tidak menyangkal jika di antara mereka ada perbedaan. Pak Amien bercerita bahwa pada suatu saat Buya Syafii sedang sakit dan dirawat di PKU Gamping. Saat malam hari pak Amien menjenguk. Melihat pak Amien datang, Buya mempersilakan dan kemudian melepas selang oxygen di hidungnya. Pak Amien bilang “jangan-jangan dilepas pak Syafii”, namun buya menjawab tidak apa-apa.
Saat itu pak Amien bertanya kenapa sikap Buya selama ini begini dan begitu, kemudian dijawab semua oleh Buya. Dilanjutkan oleh pak Amien, apa niat Buya bersikap seperti itu, dijawab Buya “ini semua saya lakukan ikhlas demi Allah SWT”. Kemudian pak Amian menjabat tangan sahabat sejatinya itu dan mengatakan “ijtihad seseorang jika salah, maka Allah akan mencatat satu pahala, jika benar maka dua pahala”. Bahkan, pertemuan secara diam-diam di antara keduannya terjadi sangat sering. Hal ini dibenarkan oleh santri kinthilan Buya Syafii, Erik Tauvani.
Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum jika rekomendasi belajar S3 Buya Syafii di Universitas Chicago adalah berasal dari pak Amien Rais. Bahkan pak Amien pernah bercerita dalam sebuah kesempatan, jika sebelum Buya Syafii dan Cak Nur belajar di Chicago, pembimbing kedua tokoh tersebut (Fazlur Rahman) bertanya kepada pak Amien untuk mempertimbangkan mereka berdua. Pak Amien dengan mantab mengatakan bahwa ia sangat mengenal Buya Syafii dan Cak Nur. Kemudian menyampaikan bahwa keduanya (Buya Syafii dan Cak Nur) adalah intelektual muda Indonesia yang cerdas, pekerja keras, dan akan menyelesaikan studi dengan baik.
Ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah tahun 1985, Pak Amien pulalah yang mengajak Buya Syafii untuk menjadi pengurus dalam majelis tersebut. Suatu saat Buya mengatakan di acara Kick Andy jika orang yang berjasa dalam hidupnya adalah Amien Rais. Setidaknya karena dua hal, yaitu bisa kuliah S3 di Chicago dan aktif di Muhammadiyah. Bahkan Buya pernah mengatakan “tidak ada Syafii Maarif, jika tidak ada Amien Rais”. Kalimat itu disampaikan pada murid kebudayaannya uda Jumaldi Alfi. Dan terkadang beliau berdua memang harus berbeda agar bisa saling mengisi.
Saya menyaksikan sendiri, di berbagai kesempatan takziah daring pada almarhum Buya, banyak yang berduka dan merasa kehilangan. Bahkan itu juga diungkapkan oleh Amien Rais. Pada hari pertama takziah daring, pak Amien turut hadir dan disebut oleh ketua umum PP Muhammadiyah bersama dengan pak Din, Gus Mus, Menag, dan ketum PB NU. Di samping itu, pada suatu program televisi nasional, pak Amien mengungkapkan rasa dukanya dan juga mendoakan agar Buya Syafii husnulkhatimah.
Bahkan pak Amien juga mengamini penganugerahan Pahwalan Nasional kepada Buya Syafii sebagaimana yang hendak diajukan oleh beberapa pihak. Hal ini mengingat kontribusi Buya pada nilai-nilai keindonesiaan dan kemanusiaan. Dalam kesempatan lain, pada Seminar Pra-muktamar di UMS, pak Amien satu-satunya narasumber yang mengungkapkan kembali rasa kehilangannya pada Buya Syafii. Saya masih ingat betul redaksi pak Amien: “semoga pak Syafii husnulkhatimah, diampuni segala kesalahannya dan kita nanti bertemu di hari akhirat”.
Itulah sekelumit relasi dua anak manusia dalam bingkai persahabatan sejati. Tentu setiap manusia memiliki kekurangan, kesalahan, dan juga kekhilafan. Memang manusia adalah tempat salah dan lupa. Akhirnya, kita doakan semoga pak Amien, sosok tokoh reformasi ini senantiasa diberikan kesehatan, keistikamahan, dan kebijaksanaan dalam mengawal reformasi, sehingga bangsa Indonesia menjadi lebih baik, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Dan semoga Buya diampuni segala dosanya, diterima amal kebaikannya, dan dimasukkan dalam jannatun na’im. Allahummafirlahu…. Amin.
Penyunting: Nirwansyah
Comments 1