Nirwansyah
Buya Ahmad Syafii Maarif memang telah berpulang ke pangkuan ilahi dan meninggalkan kita pada 27 Mei 2022 lalu. Yang pergi hanya jasad, tetapi tidak dengan warisan-warisannya. Ia telah banyak berjasa dengan meninggalkan seabrek warisan kepada bangsa dan negara yang sangat dicintainya ini. Di samping kepribadian yang sederhana nan humanis serta pemikiran-pemikirannya yang kritis lagi bernas, warisan penting lainnya yang ditinggalkan Buya adalah pembangunan iklim intelektualisme di kalangan muda sebagaimana terefleksikan dari keberadaan Maarif Institute for Culture and Humanity yang pada bulan Februari ini usianya sudah menginjak dua puluh tahun.
Buya acap berkumandang bahwasannya harus ada sekelompok massa yang kritis, terutama di kalangan mudanya. Wujudnya, ditandai dengan lahirnya Maarif Institute pada 28 Februari 2003. Inilah karakter khas Buya, kata dan laku tak bercerai-berai. Meminjam istilah aktivis kemanusiaan Sudhamek AWS (2005: 558), Buya adalah sosok yang “walk the talk” (melaksanakan apa yang diucapkannya).
Kelahiran Maarif Institute dilatarbelakangi oleh kondisi sosial yang semakin terbelah, eskalasi kekerasan atas nama suku maupun agama meningkat, kebinekaan diseok-seok, “polisi swasta” marak dengan tindakan menghakimi bahkan membatasi penganut agama atau keyakinan lain, serta penghargaan terhadap kebinekaan semakin lumpuh. Padahal, kebinekaan adalah hal yang paling dibanggakan oleh republik ini. Di atas kemajemukan inilah para ibu/bapak pendiri bangsa (founding mothers/fathers) mendirikan Indonesia merdeka.
Dengan mengusung tagline “for Culture and Humanity”, lembaga ini berkomitmen sebagai gerakan kebudayaan yang menyuarakan moral bangsa dan memperjuangkan toleransi, keterbukaan, kebebasan beragama, kemanusiaan, keindonesiaan, antidiskriminasi, dan kesetaraan yang berlandaskan wahyu. Jeffrie Geovanie (2013: 18), salah satu pemrakarsa lembaga ini, menegaskan tagline tersebut mengacu pada concern utama Buya Syafii, yakni persoalan-persoalan kebudayaan (dengan berbagai aspeknya) dan isu kemanusiaan.
Semula Buya sangat keberatan namanya dipakai sebagai nama yayasan atau lembaga. Buya menulis, “Sejak awal saya sebenarnya merasa kurang sreg dengan nama yayasan dan institut yang didirikan dan dinaunginya, karena membawa nama saya. Apalah arti seorang anak manusia seperti saya yang tak punya jasa apa-apa terhadap bangsa dan negara ini, kok namanya dipakai untuk sebuah yayasan dan lembaga” (Maarif, 2013: 6-7). Akhirnya, Buya merestui nama tersebut setelah diyakinkan oleh ‘anak-anak ideologisnya’. “Mazhab mereka itulah yang menang,” tulisnya dalam Catatan 1 Dekade Maarif Institute. Hal inilah yang menjadi salah satu cermin autentisitasnya: enggan dikultuskan atau didewa-dewakan.
Spirit kelahiran Maarif Institute adalah kesadaran akan pentingnya gerakan kebudayaan yang merawat, memulihkan, bahkan menghidupkan kebinekaan. Lembaga ini juga tak bisa dilepaskan dari sosok Buya Syafii berikut ide-ide segarnya terutama tentang keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Selain sebagai bentuk dedikasi, hal yang tak kalah pentingnya adalah memberikan ruang seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya kepada generasi muda untuk bertengkar pikiran. Ragam program, seperti Jambore Pelajar Teladan Bangsa (JPTB), Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif (SKK-ASM), dan Maarif Fellowship menjadi wahana pertengkaran yang berlangsung sangat hangat serta sehat.
Jambore Pelajar Teladan Bangsa (JPTB) pertama kali digelar pada tahun 2012. Terhitung sudah sembilan kali Maarif Institute menggelar kegiatan ini, terakhir pada tahun 2022. JPTB merupakan kegiatan yang berbasis sekolah dengan sasaran utamanya adalah pelajar dari berbagai daerah di Indonesia. Sedangkan Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif (SKK-ASM) merupakan wadah bagi anak muda kampus (jenjang studi S1 hingga S3) untuk membahas secara kritis isu-isu kemanusiaan. Adapun Maarif Fellowship yang fokus utamanya adalah mengajak, membentuk, dan memperkuat tradisi riset di kalangan peneliti muda.
Pada intinya, tujuan dari program di atas adalah mempersiapkan sekaligus berupaya mengaktifkan nalar kritis kaum muda yang berkenaan dengan paham keagamaan, keindonesiaan, dan kemanusiaan yang menjadikan Buya Syafii sebagai pusat gravitasi atau “tempat berdiang” untuk meminjam istilah sastrawan Riki Dhamparan Putra. Setiap peserta ataupun para alumninya, diharapkan mampu menjadi agen-agen pencerahan yang mendayagunakan api pemikiran Buya, khususnya di komunitas atau wilayahnya masing-masing.
Dengan kata lain, Maarif Institute merupakan gerakan kolektif kultural yang berbasis kaum muda. Para spartan tersebut berdiri tegak di atas semangat intelektual dalam memperjuangkan cita-cita sosial dan moral Buya Syafii. Jadi, lembaga ini dimaksudkan sebagai jembatan dalam membumikan dan menyemai gagasan inklusif-berkemajuan. Dalam ungkapan lain, ia merupakan kaki-tangan ide-ide Buya yang lebih konkret. Jari-jarinya berupa program-program unggulan—selain yang sudah disebutkan di muka—yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat: penerbitan Jurnal Maarif, Maarif Award, dan yang teranyar adalah Syafii Maarif Memorial Lecture (SMML).
Lembaga ini diharapkan dapat merawat, memulihkan, bahkan menghidupkan kebinekaan. Lebih dari itu, Maarif Institute hendaknya tampil sebagai salah satu garda terdepan dalam menghalau Indonesia dari kutukan kebinekaan. Dan itu mesti dimulai dari kaum muda. Untuk itu, kaum mudanya mesti tercerahkan. Bukankah hal ini pernah dilakukan pada masa-masa awal yang ditandai dengan kemunculan JIMM yang cukup menyita perhatian itu? Dua dekade dan tanpa kehadiran sosok Buya, adakah kemungkinan munculnya hal serupa tetapi sesuai dengan suasana zaman? Semoga!