Menjadi dokter itu tidak mudah. Ada proses panjang yang harus dilalui selama beberapa tahun hingga berhasil meraih predikat itu. Akan tetapi, dokter juga manusia
Ahsan Jamet Hamidi
Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pisangan, Legoso
Ibu mertuaku (85 tahun) termasuk orang yang sangat senang berkunjung ke dokter. Sebelum pandemi, dia bisa 4-5 kali dalam seminggu berkunjung ke rumah sakit. Senin bertemu dokter spesialis jantung, Selasa spesialis saraf, Rabu spesialis internis, dan Kamis terapi.
Aku dan istri sepakat untuk membiarkan kebiasaan itu. Mungkin itulah sumber kebahagiaan hidupnya. Toh letak rumah sakit hanya 5 menit dari rumah. Soal biaya, oh aman. Sebagai janda pensiunan PNS, semua biaya berobat dilunasi BPJS. Tinggal ongkos taksi online dan jasa pengantar yang harus dikeluarkan.
Kebiasaan itu berhenti saat Covid-19 muncul. Setelah mereda, sekarang hanya dua kali dalam seminggu. Meski begitu, dalam setiap pertemuan dengan dokter, terkadang ada kebiasaan yang seolah-olah ibuku ngomelin dokter karena dia merasa tidak segera sembuh dari sakitnya.
Omelan itu mungkin didukung oleh harapan berlebih kepada sang dokter. Bahwa dokter pasti bisa menyembuhkan penyakitnya. Seperti biasa, sang dokter akan sabar menjelaskan, bahwa ada faktor usia yang melatarbelakangi semua keluhan yang dirasakan oleh ibu. Jadi, dokter juga tidak bisa memenuhi semua harapan pasien. Apalagi bisa menyembuhkan segala macam penyakit layaknya membalik telapak tangan.
Dalam kesehariannya, Pakde Bas (75 tahun) adalah tipe orang yang paling sering mengeluhkan rasa sakitnya. Setiap berkunjung ke rumahnya, pasti ada saja keluhan. Dadanya nyeri, asam lambung naik, kepala pusing, perut mual, mata berkunang-kunang dan seterusnya. Pada puncak keluhannya, dia akan meminta anaknya untuk mengantarnya ke rumah sakit.
Saat bertemu dokter, perilaku anehnya selalu muncul. Dokter dipaksa mengakui bahwa dirinya sedang menderita sakit jantung. “Saya ini sakit jantung, dok,” ujarnya sambil setengah marah. Seperti biasa, dokter hanya senyum dan memaklumi. Pastinya, dokter tidak akan mudah menyimpulkan sesuatu sebelum melalui berbagai tes di laboratorium dan lain-lain.
Akhir-akhir ini, sang anak berhasil menemukan sebuah solusi sederhana. Dalam seminggu, sesekali Pakde Bas diajak keliling RSUD, melihat-lihat pemandangan di sekitaran rumah sakit, mengintip ruang IGD, ataupun menikmati aroma obat dari ruang-ruang rumah sakit. Setelah berkeliling, lalu dibujuk pulang karena dokter langganannya sedang tidak praktek. Cara itu cukup membuat hatinya senang dan puas lalu pulang ke rumah tanpa banyak keluhan.
Abang kandungku terkena serangan stroke di usia 42 tahun. Sekarang sudah berumur 70 tahun dan cukup sehat. Selama bertahun-tahun dia berkonsultasi dengan satu orang dokter spesialis jantung kepercayaannya. Setelah puluhan tahun berinteraksi, sekarang giliran dokter jantungnya yang terkena stroke. Mereka tetap bertemu sebulan sekali. Sebuah pertemuan persaudaraan. Mengobrol tentang topik-topik menyenangkan. Bukan antara pasien dan dokter. “Dokter juga manusia,” ucap abangku penuh permakluman.
Profesi Berat
Tiga keponakanku juga berprofesi sebagai dokter. Dua orang dokter umum dan 1 dokter hewan. Saat pulang praktek, kedua dokter umum itu kelihatan letih sekali. Sementara sang dokter hewan terlihat lebih ringan dan santai. “Duuuh capek, Om. Setiap hari harus menampung keluhan, bahkan terkadang juga omelan dari puluhan pasien,” keluhnya.
Aku bisa membayangkan, bagaimana para dokter tersebut mengelola perasaan dan hatinya saat menerima pasien seperti di atas. Bahkan, ada pula pasien yang berani memprotes, bahkan mendebat saran-saran sang dokter. Dia merasa cukup paham, memiliki pengetahuan tentang kesehatan yang cukup dengan argumen yang didapat dari mbah google. “Ini perilaku paling menjengkelkan dari pasien yang sok tau,” keluh seorang dokter.
Meletakkan Harapan secara Tepat
Aku kerap berbeda pandangan dengan ibu. Dia sering mengeluh, karena rasa nyeri kakinya tak kunjung sembuh. Aku mengajaknya untuk bersikap lebih bijaksana dalam meletakkan harapannya kepada dokter. Betul, menjadi dokter itu tidak mudah. Ada proses panjang yang harus dilalui selama beberapa tahun hingga berhasil meraih predikat itu. Akan tetapi, dokter juga manusia.
Kinerja dokter berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Sebuah ilmu kesehatan yang dihasilkan dari berbagai riset dan uji coba panjang, hingga terbukti valid. Riset-riset dalam dunia kedokteran yang sudah ada sejak Ibnu Sina, yang lahir di Persia pada 980 M itu belum selesai. Riset-riset baru dan uji coba itu akan terus dikembangkan hingga menghasilkan temuan-temuan baru. Temuan baru tersebut bisa saja akan menghapus temuan sebelumnya. Prosesnya akan terus seperti itu.
Dalam hal kesehatan raga, bahkan soal kematian, aku harus cermat dalam meletakkan harapan hidup dan matiku sesuai proporsinya secara tepat. Misalnya, aku akan merujuk pada saran-saran dokter sebagai upaya untuk bisa sembuh dari suatu penyakit atau mewujudkan hidup yang lebih sehat. Namun, aku tidak akan meletakkan harapan yang lebih dari itu kepada dokter. Karena dokter tidak akan mampu menjadi penjamin seutuhnya. Satu-satunya penjamin dan penentu hidup dan matiku hanyalah Sang Maha Kuasa terhadap langit dan bumi. Sujudku pada-Mu ya Allah.
Penyunting: Nirwansyah
Comments 1