Saya melihat bagaimana sosok Buya sebagai pribadi yang egaliter dan teguh pendirian
Abdul Mu’ti
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah
Sebagai akademisi, saya mengenal Buya Ahmad Syafii Maarif pada pertengahan 1980-an melalui bukunya, Islam dan Masalah Kenegaraan. Itu adalah “a must read book” bagi siapa pun yang berminat mengkaji hubungan Islam dan negara. Buku yang diterbitkan oleh LP3ES itu juga sangat timely.
Pada tahun-tahun tersebut perdebatan Islam dan negara begitu mengemuka setelah Pancasila diundangkan sebagai asas tunggal oleh Presiden Soeharto. Situasi di internal Muhammadiyah juga tidak kalah hangat. Demi menunggu penetapan asas tunggal, Muktamar Muhammadiyah di Surakarta “terpaksa” diundur.
Perkenalan intelektual saya dengan Buya berlanjut pada tahun 1990-an melalui buku Peta Bumi Intelektualisme Islam. Sebuah buku inspiratif yang membuka cakrawala dan khazanah intelektual di dunia Islam dan Indonesia. Pada kurun tersebut saya tengah belajar di IAIN Walisongo dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kota Semarang. Walaupun belum pernah bertemu secara fisik, saya merasa dekat dengan Buya melalui buku-bukunya.
Secara langsung saya baru bertemu Buya tahun 2000 dalam pelantikan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah periode 2000-2005. Dalam acara pelantikan yang begitu meriah dan sangat dinantikan—bahkan sakral. Buya tidak mengucapkan ikrar pelantikan, “Dengan mengucap, Bismillāhirrahmānirrahīm saudara-saudara saya lantik menjadi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah 2000-2005.” Sebuah prosesi pelantikan yang khāriqu al-‘ādah (di luar kebiasaan, ed.). Kontan semua jamaah bergemuruh dengan pandangan masing-masing. Tidak hanya itu, Buya juga memulai “tradisi” ceramah singkat; tidak lebih dari 30 menit. Sebagian besar jamaah yang datang dari seluruh penjuru Jawa Tengah merasa lega.
Dalam setiap perhelatan akbar seperti pelantikan yang dihadiri PP Muhammadiyah, warga Persyarikatan berharap mendapatkan tausiah keislaman dan informasi nasional terbaru dari sumber pertama. Buya melakukan desakralisasi dan deformalisasi pelantikan. Bagi Buya, seremonial tidaklah sesuatu yang penting. Kesan itu semakin kuat setelah saya bergaul lebih intens dengan Buya selama menjabat Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah 2002-2006.
Dalam rentang waktu 2002-2005, saya banyak berinteraksi dan berdiskusi dengan Buya, terutama terkait dengan dinamika dan dialektika politik nasional dan Muhammadiyah. Dinamika politik internal Muhammadiyah begitu hangat, terutama karena pencalonan Pak Amien Rais sebagai kandidat presiden.
Dalam kaitan itulah saya melihat bagaimana sosok Buya sebagai pribadi yang egaliter dan teguh pendirian. Saya melihat bagaimana Buya berada dalam posisi yang sangat sulit, bahkan dilematis. Di satu sisi, Buya harus menjaga netralitas dan soliditas Muhammadiyah. Pada sisi yang lain, Buya harus menjaga persahabatan dengan Pak Amien Rais. Seperti ditulis Gus Dur, “Tiga Pendekar Chicago,” Buya Maarif, Pak Amien Rais, dan Cak Nur adalah murid Fazlur Rahman yang memiliki peranan penting dalam gerakan dan pembaruan Islam di Indonesia.
Sebelum pelantikan PP Pemuda Muhammadiyah saya diantar Pak Dahlan Rais, ketua PWM Jawa Tengah dan adik kandung Pak Amien Rais, silaturahmi ke rumah Pak Amien Rais di Yogya. Silaturahmi itu memiliki dua makna penting. Pertama, untuk “mencairkan” ketegangan, menjernihkan situasi, dan meyakinkan Pak Amien Rais bahwa saya tidak berseberangan—terutama secara politik. Selama Muktamar Sukolilo, ada yang berusaha membangun opini bahwa saya tidak mendukung Pak Amien Rais sebagai calon presiden. Kedua, untuk meminta nasihat.
Soal yang pertama, sepertinya sudah selesai. Kedatangan saya dengan Pak Dahlan meyakinkan Pak Amien Rais bahwa saya berada pada gerbong yang sama. Saat itu, dengan bersemangat sebagai orangtua, pimpinan Muhammadiyah, dan tokoh nasional, Pak Amien Rais menyampaikan beberapa pesan. Dua yang masih saya ingat, dan dalam banyak hal saya terapkan; pertama, menjadi pemimpin itu laksana tukang kayu profesional. Di tangan seorang tukang kayu profesional, semua jenis dan kualitas kayu akan berguna. Tidak ada yang terbuang.
Maknanya, seorang pemimpin harus mampu menghimpun dan mengembangkan semua sumber daya dan potensi dalam tubuh organisasi. Kedua, Pak Amien Rais berpesan agar dalam menjalankan roda organisasi dan kepemimpinan, senantiasa berkonsultasi dengan Buya Syafii. “I trust him one hundred percent,” kata Pak Amien Rais meyakinkan. Gambaran itu menegaskan bagaimana kedekatan Pak Amien Rais dengan Buya.
Kedekatan Pak Amien Rais dengan Buya tetap terjalin dengan baik. Buya Maarif dan Pak Amien Rais hadir dalam pelantikan PP Pemuda Muhammadiyah yang berlangsung sederhana di halaman kantor PP Muhammadiyah Jakarta. Akan tetapi, situasi mulai berubah, ketika Sidang Tanwir Muhammadiyah di Makassar tahun 2003. Dalam berbagai kesempatan, Buya Maarif menyatakan Muhammadiyah akan tetap netral dalam pemilihan presiden. Pernyataan Buya tersebut membuat Pak Amien Rais kecewa dan marah. Pak Amien Rais tidak bersedia hadir dalam pembukaan Sidang Tanwir.
Situasi menjelang Tanwir sempat tegang. PP Muhammadiyah mengadakan rapat khusus dengan perwakilan PWM dan organisasi otonom tingkat pusat. Bagaimana menjaga situasi Tanwir agar tetap tenang dan kondusif. Sebagian besar PWM termasuk saya cenderung pada pendapat agar Muhammadiyah memberikan dukungan resmi kepada Pak Amien Rais sebagai calon presiden.
Sejak Tanwir Semarang tahun 1998, warga Muhammadiyah sangat berharap Pak Amien Rais sebagai Bapak Reformasi terpilih sebagai presiden. Di atas 80 persen warga dan pimpinan Muhammadiyah mendukung Pak Amien Rais. Psikologi politik inilah yang membuat kehadiran Pak Amien Rais menjadi begitu penting.
Dalam rapat tersebut, Buya duduk tenang mendengarkan setiap masukan. Tidak tersirat sedikit pun kemarahan. Tidak sedikit yang berkata keras. Saya salah satunya. Saya menyampaikan masukan dalam bahasa Inggris dan menggunakan kata “you” dalam nada yang agak tinggi. Tapi Buya tidak sedikit pun tersinggung dengan pernyataan saya yang—saya sadar—sangat tidak sopan. Lalu, di akhir pertemuan Buya menjelaskan berbagai alasan. Intinya, secara pribadi Buya mendukung sepenuhnya pencalonan Pak Amien Rais. Tetapi secara organisasi Muhammadiyah tetaplah netral. Buya tidak goyah.
Pada akhirnya Pak Amien Rais tidak hadir dalam pembukaan Sidang Tanwir. Kalau tidak salah, Pak Amien Rais hadir pada hari ketiga. Dalam kesempatan ceramah, Pak Amien Rais mengkritik keras sikap PP Muhammadiyah dan Buya. Saya merasakan bagaimana Buya seperti dihakimi. Tetapi, Buya yang duduk di kursi paling depan tetap tenang dan mendengarkan setiap kata.
Pada akhirnya, Sidang Tanwir tidak ada satu pun melahirkan pernyataan bahwa Muhammadiyah secara kelembagaan mendukung Pak Amien Rais sebagai calon presiden. Pernyataan dukungan Muhammadiyah disampaikan dalam rapat pleno PP yang menyebutkan dukungan Muhammadiyah kepada Pak Amien Rais sebagai putra terbaik Muhammadiyah untuk menjadi calon presiden.
Saya tidak tahu bagaimana situasi yang berkembang dalam pleno PP, dan setelah keputusan pleno PP disampaikan, Buya all out mendukung Pak Amien Rais. Walaupun, bagi sebagian orang—termasuk mungkin Pak Amien Rais—menilai Buya mendukung setengah hati. Dugaan itu semakin kuat ketika pada putaran kedua, terlihat jelas sinyal bahwa Buya mendukung pasangan calon SBY-JK.
Dalam sebuah kesempatan, menjelang pemungutan suara putaran kedua Buya menyampaikan kepada saya, “Pada putaran kedua saya akan tetap memilih. Saya tidak akan golput. Tapi saya tidak akan menyampaikan siapa pilihan saya.” Kesimpulan saya didasarkan pada dua alasan. Pertama, pada masa kampanye putaran kedua, Buya mendampingi Pak JK ke Padang. Kedua, selesai pilpres, Pak SBY-JK memberi “jatah” menteri kepada Muhammadiyah. Meskipun banyak yang golput—termasuk saya—mayoritas warga Muhammadiyah memilih SBY-JK ketimbang Megawati-Hasyim Muzadi. Alasan subjektifnya sudah bisa diketahui.
Sikap egaliter dan teguh Buya juga terlihat dari pergaulan dan pernyataan. Buya dekat dengan kalangan mana saja. Satu hal yang menarik, Buya mau belajar dan mengapresiasi kiprah dan pemikiran kaum muda. Buya sering berbagi tulisan, dan pada saat yang sama juga membaca tulisan. Inilah yang membuat tulisan-tulisan Buya senantiasa fresh dan tetap mendalam.
Kecintaan dan pemahaman Al-Qur’an yang mendalam membuat tulisan Buya selalu memiliki sisi transendental. Diksi dan ekspresi tulisan Buya senantiasa hidup sehingga pembaca akan membaca setiap kata dan huruf. Tulisan Buya tetap tajam dan kritis. Selalu ada gagasan baru. Dari tulisan dan pernyataan pikiran, Buya selalu terlihat muda. Sama sekali tidak tersirat bahwa Buya sudah berusia 85.
Selamat ulang tahun Buya. Semoga senantiasa sehat dan menginspirasi.
Sumber: David Krisna Alka & Asmul Khairi (ed.), “Mencari Negarawan; 85 Tahun Ahmad Syafii Maarif”, (2021)
Penyunting: Nirwansyah