Wafatnya Buya Syafii Maarif cukup memprihatinkan. Sebab, ketandusan teladan juga akan semakin dirasakan di negeri ini di tengah bonus demografi Indonesia
Nirwansyah
Bangsa Indonesia berduka. Buya Ahmad Syafii Maarif, sang “Muazin Bangsa” itu telah berpulang pada Jum’at, 27 Mei 2022 di RS PKU Muhammadiyah, Yogyakarta sekitar pukul 10.15 WIB, empat hari menjelang usianya 87 tahun pada 31 Mei ini. Buya merupakan figur teladan yang patut dijadikan contoh, lebih-lebih bagi kaum muda.
Wafatnya Buya Syafii Maarif cukup memprihatinkan. Sebab, ketandusan teladan juga akan semakin dirasakan di negeri ini di tengah bonus demografi yang dihadapi Indonesia. Yakni, jumlah usia produktif lebih banyak tinimbang usia tidak produktif. Anak muda menjadi penyumbang terbanyak dalam kategori usia produktif itu. Mereka dianggap mampu berpikir dan bertindak out of the box, di luar dugaan kebanyakan orang.
Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, anak muda atau pemuda adalah warga negara yang rentang usianya 16-30 tahun. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat lebih sering menyebutnya sebagai generasi milenial.
Adapun Jane Pilcher (1994) dalam tulisannya “Manheim’s Sociology of Generations: An Undervalued Legacy” menyebut sosiolog asal Hongaria, Karl Manheim sebagai salah satu tokoh kunci dalam perumusan dan pengelompokan generasi-generasi secara lebih sistematis. Berangkat dari itu, kemudian kita mengenal berbagai istilah yang merujuk pada generasi tertentu.
Sensus Penduduk 2020 memberikan gambaran bahwa lebih dari separuh rakyat Indonesia masuk dalam kategori usia produktif, yakni 15-64 tahun. Mereka berasal dari lintas generasi, mulai dari Generasi Baby Boomer, Generasi X, Generasi Y (milenial), dan Generasi Z.
Kendati mayoritas, anak muda dapat menjadi berkah ataupun malapetaka. Menjadi berkah, apabila ia berkontribusi nyata bagi kemajuan masyarakat, bangsa, dan negara. Sebaliknya, akan menjadi malapetaka jika hanya berpikir untuk mengeruk keuntungan demi diri sendiri. Lebih-lebih melakukan flexing atau pamer kemewahan palsu di dunia maya.
Agar tidak menjadi malapetaka, maka penting bagi anak muda untuk meneladani spirit para pemuda di masa silam dan menjiwai semangat pendiri bangsa yang kesehariannya serba bersahaja serta mengabdikan hidup demi kemajuan bangsa. Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Hal mendesak yang dibutuhkan saat ini ialah sosok dan figur teladan hidup yang menjiwai semangat para pendiri bangsa itu.
Kita patut bersyukur, karena di tengah sukarnya menemukan figur tersebut, masih ada secuil dari sekian ratus juta rakyat Indonesia yang memberikan teladan terbaik bagi segenap warga bangsa. Salah satunya adalah Buya Ahmad Syafii Maarif, seorang cendekiawan Muslim berdarah Minang dan sesepuh Muhammadiyah.
Buya tak hanya dikenal sebagai tokoh yang pernah menjadi ketua umum Persyarikatan yang usianya lebih tua dari Republik ini. Ia juga dikenal sebagai cendekiawan, tokoh lintas iman, guru bangsa, muazin bangsa, hingga negarawan.
Berbagai penahbisan tersebut bukanlah tanpa alasan. Buya merupakan seorang yang tekun dalam dunia keilmuan. Isu keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan menjadi fokus kajiannya. Kerja-kerja keilmuan pun masih produktif ia lakukan. Meskipun batang usianya sudah masuk dalam kategori lansia, Buya Maarif seolah tak kehabisan energi dan ide.
Sebagai seorang yang menjunjung tinggi toleransi, pergaulan Buya sangat terbuka dan banyak bersahabat dengan mereka yang berbeda iman dan golongan. Tidak hanya bersahabat, meminjam istilah Sukidi, Buya juga “terlibat aktif” dalam kerja-kerja kemanusiaan yang melampaui sekat-sekat etnis, ras, suku, dan agama.
Misalnya, Buya menjadi Dewan Konsultatif Majelis Buddhayana Indonesia. Sukidi, kader Muhammadiyah jebolan Harvard menilai hal tersebut sebagai suatu hal yang langka, karena seorang Muslim puritan mampu dan berani keluar dari sekat-sekat yang membelenggu.
Adapan titel guru bangsa atau negarawan yang disematkan kepada Buya, tak lain karena orientasinya pada kemaslahatan umat dan mengutamakan tanggung jawab, bukan pangkat, hak istimewa, apalagi uang. Tak heran jika banyak elite menjadikan Buya sebagai rujukan moral.
Kita banyak mendengar bahwa kehidupan Buya jauh dari kata mewah. Hidupnya sederhana, egaliter, berpikir untuk kepentingan bangsa, bersikap terbuka kepada siapa pun tanpa memandang latar belakang apa pun.
Di sisi lain, Buya juga sering mengkritisi hal-hal yang dalam pandangannya dapat membuat kapal Republik ini karam. Tentu tanpa beban, apalagi takut kehilangan jabatan. Buya menyuarakan kegelisahan bangsa kepada penguasa agar segera siuman untuk memperbaiki keadaan dan kembali kepada rel kebenaran.
Hal tersebut disampaikannya dengan santun, lugas, tegas, dan keras tanpa menganjurkan kekerasan. Sehingga, Alois A. Nugroho (2015) menyebut Buya Maarif sebagai “muazin moralitas bangsa.”
Bagi Azyumardi Azra, sosok Buya Maarif bak ensiklopedia hidup. Buya tidak hanya kaya akan keilmuan, melainkan perjalanan dan pengalamannya yang penuh makna di berbagai kehidupan luas. “Sebagai eksiklopedia, ia sepatutnya mengilhami kelahiran guru bangsa lain dan juga negarawan seperti dalam komitmen hidup dan intelektualnya, yaitu hanya untuk kemajuan bangsa, kemajuan umat, dan kemajuan kemanusiaan” (2021:304).
Keilmuan, perjalanan, kesahajaan, dan pengalaman Buya yang penuh substansi dan makna itu telah mengantarkannya sebagai sosok yang menjadi rujukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Membincangkan Buya seolah-olah tak ada ujung. Semakin kita menggali, maka akan semakin nampak dalamnya sumber mata air keteladanan.
Akhirnya, kita akan selalu merindukan keteladanan yang telah Buya torehkan hingga diujung hayatnya. Selamat jalan Buya Bangsa.