Fachry Ali
Pakar Ilmu Komunikasi dan Pengamat Politik
Ketika LP3ES (Imam Ahmad dan AE Priyono) meminta membuat kata pengantar untuk buku ini, saya sedang di Clayton, Melbourne—menyelesaikan tesis. Kepada Prof. MC. Ricklefs, pembimbing, saya minta izin untuk tidak menyelesaikan tesis sesuai jadwal. Pasalnya adalah sifat unik materi buku ini. Yaitu, terdiri dari surat-surat analitik tentang politik Indonesia awal dan pertengahan 1950-an oleh seorang anak muda Amerka: Boyd R. Compton. Menurut saya, Hamid Basyaib telah memainkan peran tertentu bagi kelahiran buku ini.
Belakangan saya dengar, naskah surat-surat itu pada mulanya ada di tangan Bill Liddle, ahli politik Indonesia dari Ohio State University. Naskah itu kemudian diterima (diambil?) oleh muridnya, Affan Gaffar. Mungkin, dari yang terakhirlah naskah itu jatuh ke tangan Hamid Basyaib. Hamid lalu menerjemahkannya dengan—harus saya akui—sangat bagus. Hubungan Hamid dg AE Priyono, editor penerbitan LP3ES, yang telah terbentuk sejak di Yogyakarta lah yang memungkinkan buku unik ini terbit. Dalam hal ini, Hamid telah memberikan kontribusi, pada taraf tertentu, intelektual bagi masyarakat Indonesia awal 1990-an itu.
Akan tetapi, sebagai pembuat ‘kata pengantar’, masalah saya mungkin lebih rumit. Di samping harus mencari perspektif untuk meletakkan konteks politik 1950-an dan 1990-an, saya harus bertanya dan menemukan siapa Compton dan di mana dia.
Untunglah ada Herbert Feith. Yang terakhir ini bukan saja kenal, melainkan punya nomor telepon Boyd Compton di New York, AS. Maka, yang pertama saya lakukan adalah menelpon Compton dari Clayton, Melbourne. Begitu mendengar suaranya, saya terkejut. Saya pikir untuk menjadi penyanyi, Compton pasti bagus. Suaranya bariton! Maka, frekuensi hubungan telepon Melbourne-New York menjadi tinggi.
Dan harap diingat, saya bayar sendiri biaya telepon. Gagah juga saya sebagai mahasiswa. Lalu, hubungan Melbourne-New York bersambung melalui faksimili. Dari situlah saya tahu siapa Compton dan latar belakangnya dan yang ‘tragis’ adalah naskah faksimili Compton tidak saya fotokopi. Akibatnya, ketika saya kembali ke Indonesia, yang tersisa hanya kertas putih. Tinta fax luntur semua.
Kendatipun demikian, beberapa bagian riwayat hidupnya sudah saya kutip di dalam pengantar—dan tdk luntur. Dan di atas semuanya, Prof. Ricklefs bilang kepada saya melalui surat: “Bisa dimengerti jika menulisnya lama. Tulisanmu bagus.’Herb Feith pun seia sekata.’ Hamid Basyaib yang menerjemahkannya memang hebat!
Adapun yang membuat saya galau adalah naskah asli bahasa Inggris surat-surat itu hilang dari arsip saya. Untunglah, melalui Prima Gandhi, dosen IPB, saya menemukan kembali naskah sangat penting itu, hanya beberapa bulan lalu.
Terimakasih, Gandhi
Penyunting: Nirwansyah