JIBPost.ID – Azyumardi Azra mengatakan untuk menilai apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) gagal dalam memimpin Indonesia, khususnya di periode keduanya ini harus ditunggu hingga masa kepemimpinannya berakhir yang kurang lebih tinggal dua setengah atau tiga tahun lagi.
Hal ini disampaikannya dalam diskusi dengan tajuk “Benarkah Jokowi Gagal Pimpin Indonesia?” yang diselenggarakan oleh Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) pada Senin (26/7).
Dalam kata pengantarnya, David Krisna Alka mengatakan pandemi Covid-19 menjadi ujian bagi para pemimpin dunia, termasuk Presiden Jokowi. Sehubungan dengan itu, Presiden Jokwi diharapkan dapat meningkatkan kualitasnya di tengah situasi saat ini.
“Kualitas tersebut memiliki ciri utama, yaitu kemampuan berinovasi, memiliki kreativitas tinggi, dan kemampuan menghadapai krisis (ability to deal with crisis),” jelasnya.
Hadir juga narasumber lain, yaitu Saleh P. Daulay (Anggota DPR RI), Sirojudin Abbas (Direktur Eksekutif SMRC), Khoirunnisa Nur Agustyati (Direkur Eksekutif Perludem), dan Endang Tirtana (Direktur Eksekutif IWD).
Menurut Azra, ada beberapa hal atau indikator yang harus diperbaiki oleh Presiden Jokowi jika tidak ingin dianggap gagal ketika masa kepemimpinannya sudah berakhir nanti. Pertama adalah soal good governance.
“Banyak indikator yang menunjukkan bahwa good governance ini tidak berjalan dengan baik. Yang pertama yang paling jelas itu adalah pemberantasan korupsi yang tidak jalan atau kalaupun jalan itu hanya minimal. Padahal pada saat yang sama korupsi merajalela. Apalagi pada musim pandemi Covid-19 ini pun sebagian dana bansos itu juga dirampok oleh anggota kabinetnya Jokowi,” bebernya.
Hal kedua yang mesti diperbaiki dalam kepemimpinan Jokowi di periode kedua ini menurut Azra adalah soal demokrasi yang mengalami kemunduran bahkan cenderung atau berpotensi memunculkan oligarki nepotistik dan despotik.
“Kemunduran demokrasi Indonesia, ya katakanlah dalam periode kedua ini terutama, yaitu dengan koalisi politik yang terlalu besar di DPR dan partai politik yang pada gilirannya, pada akhirnya memunculkan apa yang bisa disebut oligarki nepotistik dan despotik,” ujarnya.
Terkait kemunduran demokrasi ini, Azra menilai terjadi marjinalisasi terhadap masyarakat sipil seperti Muhammadiyah dan NU serta NGO. Ia memberi contoh terkait penangan Covid-19 yang mana pemerintah terkesan mengesampingkan masyarakat sipil tersebut.
“Saya belum pernah mendengar Presiden Jokowi mengundang atau bicara sama ormas-ormas, baik yang Islam maupun non-Islam bagaimana kita sama-sama menghadapi corona ini. Padahal ormas seperti Muhammadiyah itu punya piutang sampai 2 T kepada pemerintah dari pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit dan klinik-klinik Muhammadiyah terhadap korban-korban Covid-19,” jelas Azra.
Selain itu, menurutnya kebebasan berekspresi dan beraspirasi juga semakin surut dikarenakan buzzer (pendengung) atau influencer yang banyak menyerbu orang-orang yang kritis. Bahkan, kata Azra, seminar-seminar pun tak luput dari susupan atau gangguan dari akun-akun anonim (tidak jelas identitasnya).
“Ini hal-hal yang saya kira kalau tidak diperbaiki dalam waktu yang tersisa, maka jelas kemudian gagal dalam penguatan demokrasi. Malah kemudian demokrasi kita menjadi babak belur, terutama dalam lima tahun terakhir,” katanya.
Hal terkahir yang harus diperbaiki Presiden Jokowi dalam catatan Azra adalah soal penanganan pandemi Covid-19. Menurutnya, saat ini kita mesti sabar menunggu untuk bisa menjawab pertanyaan apakah pemerintahan sekarang gagal atau sukses dalam mengahadapi pandemi ini.
Di sisi lain, ia mengatakan banyak ekses yang muncul akibat pandemi Covid-19 ini salah satunya ialah tindakan aparat yang berlebihan.
“Ini menimbulkan keputusasaan dan kemarahan. Saya beberapa hari yang lalu juga webinar, ya. Itu ada yang mengusulkan kita revolusi aja mengubah keagendaan, karena ini nggak ada harapan lagi nih pemerintahan sekarang ini.”
“Saya bilang, janganlah, sabarlah. Ya Anda praktekkan, kembali kepada prinsip demokrasi reward and punishment. Jadi, tunggulah sampai 2024. Anda kalau ada yang perlu Anda reward, ya Anda kasih reward, tapi mana yang Anda perlu punish beri punishment, ya kasih punishment: partainya jangan dipilih lagi, yang mengusung, dan sebagainya itu,” pungkasnya.
Penyunting: Nirwansyah