Alfi Rahmadi
Tokoh Muda Alumni UIN Jakarta
Dalam Al Quran, kata al-‘adl disebutkan 28 kali dengan berbagai derivasinya. Kata al-qisht disebutkan 25 kali dengan berbagai derivasinya juga. Meski sama-sama bermakna adil dan mengandung universal, tapi terma keduanya berbeda.
Al-‘adl itu abstrak. Mencakup segala hal persamaan sesuai makna harfiahnya. Al-qisht mengandung kepastian. Sesuatu yang abstrak yang dapat ditakar (al-miqdar) dan ditimbang (al-mizan) sebagaimana sinonim al-qisht. Ruang sosiologi hukum begitu terbuka.
Presisi al-qisht itu memenuhi bagian-bagian yang mesti dipenuhi sesuai kandungan makna harfiahnya: bagian. Di antara standardisasi al-qisht diulas Imam al-Ghazali dalam “Al-Maqshad fī Syarh Asma’ Allah Al-Husna” melalui pengertian pembelaan terhadap orang yang dizhalimi.
Di dalamnya terdapat kerelaan kedua belah pihak. Orang yang dizhalimi bukan saja mendapatkan haknya, tetapi juga pelakunya, si zhalim, legawa atas penegakan al-qisht.
Dalam al-qisht, keadilan yang digapai melampaui unsur setimpal dengan perbuatan. Kedua belah pihak seolah “digiring” tidak ada pihak yang merasa teraniaya. Ia hasil pembebasan sesuai tingkatan perkaranya sehingga memenuhi terma pemanusiaan.
Pada dimensi tasawuf, al-qisht mengembalikan fitrah kebaikan sebagaimana kandungan roh ‘izzati pada tiap manusia. Dan karena itu jua sinonim al-qisht juga berarti rizki. Seolah melalui sebuah perkara hukum menjadi jalan pulang seseorang pada fitrahnya secara trasenden.
Memang terlampau sukar untuk memetik hasil cemerlang demikian. Karena itu di antara karakter utama penegak al-qisht ialah orang berilmu. Syahidallahu annahu la ilaha illa huwa wal malaikat wa ulul ‘ilmi qaa iman bil-qisht (Q.S. Ali Imron: 18).
Berbagai predikat yang disandang melalui perjalanannya yang panjang, Artidjo Alkostar pengamal sejati konsep al-qisht. Karena jalan menuju itu berliku dan terjal (al-‘aqobah), maka memang sangat sedikit yang menempuhnya.
Selaku hamba hukum, kesederhanaan Artidjo Alkostar adalah kemerdekaannya. Kemerdekaannya ada dalam keadilannya. Keadilannya ada dalam ketuhanannya.
Alkostar Sebagai “Sanad Al-Qisht“
Apa yang diceritakan Hamid Basyaib dalam “Artidjo Alkostar: Sebuah Kitab Keadilan” tentu baru sekelumit, yang dengan itupun sangat kuat menggambarkan predikat sang hamba hukum ini.
Di berbagai kesempatan, Hamid punya banyak cerita tentang jejak unik guru dan sahabatnya ini, yang kali ini tak mungkin ia ulas terperinci pada situasi matanya yang tengah mengalir kristal bening. Seolah cukup ia kunci dengan frase “kitab keadilan” untuk meringkas sang lagenda dalam waktu sekejab.
Toh, pada situasi paradoks–penuh ironi dalam memastikan adagium Lucius Calpurnius bahwa hukum harus tegak sekalipun langit akan runtuh (fiat justitia ruat caelum)- jejak Artidjo Alkostar dengan sendirinya telah menjadi “kitab keadilan”. Kekayaan jejaknya terlanjur menjadi monumen, yang dapat ditatap generasi bangsa dari dekat.
Betapa tidak: selama 18 tahun berkarir sebagai hakim agung, sanggup menuntaskan 19 ribuan perkara. Kualitas putusannya nyaris tanpa cacat. Itu belum dihitung dari perjalanan panjang pengalamannya sebagai aktivis dan pengacara.
Barangkali demikian itu kehendak Tuhan menjadikan Alkostar “sanad al-qisht” (sub kitab keadilan). Sehingga “pembangunan” tonggak monumen Alkostar di langit pun, ditandai dengan roh izzatinya pulang keharibaan Ilahi Rabbi. Hanya berselang sehari sebelum peringatan Hari Kehakiman Nasional, 1 Maret.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu. Lahu Alfatihah []
Penyunting: M. Bukhari Muslim