Feri Amsari
Direktur Pusako Universitas Andalas
Pembelajar itu boleh tak berprestasi, sudah tak harus menjabat
Keep your eyes on the stars, and your feet on the ground
Theodore Roosevelt
Banyak orang suka tinggi angan-angan. Begitu berhasil menuai mimpi acap kali lupa diri. Semua ingin diraup. Begitu gagal, tak kuat dipandang rendah orang lain.
Rendah hatilah selalu, kata banyak orang. Kau hanya boleh sombong kepada orang sombong. Itu adalah sedekah. Lawanlah para pengkhianat kebenaran, karena mereka itu parasit kehidupan.
Sudah sifat manusia tinggi hati dan rendah diri. Sulit bagi kita semua menjadi rendah hati. Hanya dengan ilmu, rasa rendah hati itu menguat. Dengan ilmu itu pula perlawanan terhadap yang tidak benar muncul.
Bagaimana kalau ada akademisi merasa rendah diri, tetapi tinggi hati? Biasanya mereka berujung jadi penjilat. Padahal yang dijilat bisa didorong masuk jurang, karena merasa senantiasa didorong-dorong dengan rasa bangga.
Sifat ini bisa merambah terhadap kita semua. Kalo sudah timbul rasa rendah diri, tetapi ingin juga tetap sombong karena merasa tinggi hati, apalagi tinggi gengsi, maka macam-macam bisa terjadi.
Banyak pula akademisi terjebak sifat buruk itu. Saya sendiri sering tergoda akan sifat budak setan itu (jadi jangan tersinggung saya cerita soal diri saya sendiri ini). Ibarat pepatah Minang, ada akademisi yang suka “mangapik kapalo harimau (mengapit kepala harimau)”. Harimau itu Raja (pejabat negara) di belantara.
Ada akademisi yang senang “merangkul” para pejabat-pejabat yang sukses (apalagi pejabat negara) jadi jagoannya. Secara moral, tidak ada masalah akademisi bergaul dengan siapa saja. Boleh, kok! Termasuk berteman akrab dengan para pejabat tersebut, tetapi bukan untuk ikut membangga-banggakan mereka setinggi langit atau membanggakan diri sendiri, karena kenal si pejabat. Pertemanan itu mestinya dalam rangka saling nasehat-menasehati dalam kebaikan. Bukan mencari proyek, karena kenal pejabat. Itu mah pekerjaan makelar.
Ini ada akademisi yang senang tak terperi kenal pejabat dan mau menjadikan pejabat sebagai sesembahan. Si pejabat iya pula, suka dijilat. Padahal menurut agama, pujian bisa jadi racun.
Para pejabat itu lupa. Di atas kitab suci mereka masing-masing, si pejabat-pejabat itu bersumpah untuk menjalankan tugasnya secara bersungguh-sungguh. Agar bersungguh-sungguh mereka harus fokus.
Di Indonesia, hebatnya pejabat rela menjadi apa pun selain jabatan yang dia di sumpah atasnya. Ada pejabat jadi ketua organisasi olah raga dan ada pula jadi organisasi akademisi. Akibatnya, olahraga dan dunia pendidikan kita tak maju-maju.
Saya cuma mau kasih tau. Kalau mau jadi pelajar atau akademisi, tak apa tak sukses. Sebab, pelajar yang baik itu harus mengenal gagal. Dengan demikian, dia bisa belajar untuk menjadi lebih baik. Kalau sudah berhasil, dia akan terus belajar, sebab keberhasilan hanya berakhir ketika mati dalam menjalankan amanah secara baik. Sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya. Urusan penilaian orang bukan urusan kita. Nabi saja tetap dianggap jahat meskipun mengerjakan hal-hal yang baik-baik. Yang masalah itu adalah sudah tau dosa, bangga pula.
Penyunting: Nirwansyah