Islam dan terorisme menjadi isu yang sering mencuat di berbagai media. Dalam menyoal Islam dan terorisme ini, tim CMM berkesempatan berdialog dengan Choirul Mahfud, dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya dan aktivis JIMM.
Bagaimana mestinya kita menyikapi fenomena gerakan ekstrim di kalangan kaum fundamentalis?
Sikap yang seharusnya dilakukan. Pertama, dialog aktif. Langkah ini penting kita lakukan untuk memahami, mengenal dan mengarifi realitas fundamentalisme itu. Karena fundamentalisme muncul bukan tanpa sebab. Dialog aktif itu juga berguna untuk mengetahui latar belakang kelompok itu menjadi katakanlah fundemantalis dan lain sebagainya. Kedua, selain dialog aktif adalah usaha-usaha kultural dan struktural. Usaha-usaha kultural bisa dilakukan oleh kelompok kultural, organisasi masyarakat, NGO/CSO, dan lain sebagainya. Sementara usaha struktural dilakukan oleh negara beserta aparatnya. Tentu saja semua usaha itu harus ada koordinasi dan kerja sama satu sama lain.
Seperti apakah femonena radikalisme keagamaan?
Fenomena radikalisme itu muncul dan mengemuka dalam banyak wujud. Di antaranya wujud radikalisme keras dan radikalisme lunak. Radikalisme keras itu saya maknai sebagai pola laku dan tindakan kekerasan fisik dan bahkan aksi bunuh diri di ruang publik atas nama agama. Sementara radikalisme lunak adalah modus kekerasan dalam memaknai ajaran agama. Maksudnya, agama itu hanya dilihat pada aspek-aspek yang mengarah pada kekerasan. Padahal, ajaran agama itu sangat banyak dan luas cakupannya.
Dalam konteks ini, penafsiran agama didasarkan pada permusuhan bukan penghormatan atas realitas keragaman dalam keberagamaan. Seperti kita tahu bahwa agama itu jumlahnya banyak, tapi kaum fundamentalis sering menyampaikan istilah-istilah yang mengarah pada kebencian dan prasangka terhadap realitas multiagama dan multikultural itu.
Bagaimana Anda memandang fenomena terorisme dewasa ini?
Menurut saya, fenomena terorisme semakin menguat di Indonesia dan bahkan di dunia. Hal ini dilatarbelakangi oleh faktor globalitas politik, ekonomi, budaya, dan imperialisme baru. Dalam konteks global, kaum teroris nampaknya merasa kurang diuntungkan dalam konteks politik dan ekonomi. Kaum teroris akhirnya merasa menjadi korban (victim) dan akhirnya harus melawan. Siapa yang dilawan? Tentu saja kelompok di luar dirinya. Satu di antaranya kelompok itu adalah kelompok Barat yang diwakili Amerika dan sekutunya.
Di Indonesia, fenomena teroris hanya mata rantai atau bagian dari jaringan terorisme global. Pelaku-pelakunya pun sekarang cukup terdidik, tapi memang sangat muda dalam umurnya. Karena itu, cara-cara dalam memahami fenomena itu harus juga berubah dan lebih proaktif tanpa kekerasan.
Bagaimana mestinya kita melihat kenyataan yang kini melanda sebagian kecil kaum Muslim itu?
Kita mustinya melihat secara arif dan bijak tanpa harus membabi buta atas nama solidaritas kaum Muslim sedunia. Solidaritas sesama Muslim perlu dimaknai dalam konteks saling mengingatkan, menasehati, menolong semampunya dan mendoakan. Masalah aksi terorisme atas nama apa pun termasuk agama, saya kira tidak dianjurkan. Membela kaum teroris tentu sebuah masalah tersendiri.
Bijaknya, kita perlu terus mengusahakan untuk memerangi terorisme dengan tanpa membunuh kaum teroris. Karena, kaum teroris itu sama dengan orang yang kena penyakit HIV/AIDS. Bisa menular dan mematikan. Apakah kita bisa mencegah kaum teroris tanpa harus membunuhnya? Tentu ini langkah yang sulit, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Saya kira perlu memakai banyak cara-cara jitu tanpa pembunuhan.
Kelompok yang menggunakan kekerasan dalam amar makruf nahi munkar melegitimasi tindakannya dengan Hadits, ”Siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan, bila tak mampu, ubahlah dengan lisan, bila tak mampu juga, cukup dengan hati, dan itulah selemah-lemah iman.” Sebenarnya bagaimana kita memaknai Hadits ini?
Hadits itu sebetulnya mengarah pada kebaikan. Karena itu tujuan diturunkannya Hadits (maqashid syariah) itu yang seharusnya diarifi dan dipahami bersama. Caranya memahami bukan harus secara prosedural tangan dahulu atau lisan atau hati. Menurut saya, secara prosedural bisa dibolak-balik asal efektif dan tepat sasaran. Boleh hati atau lisan dahulu.
Nah, Hadits itu juga bisa dipahami secara kontekstual bahwa mengubah kemungkaran dan keburukan dengan menggunakan tangan itu maksudnya tidak secara kekerasan fisik. Bisa dibayangkan kalau anak kita salah lalu kita terus menegur dengan kekerasan fisik, akibatnya seperti apa. Karena itu, kontekstualisasi Hadits itu perlu disosialisasikan ke masyarakat awam agama. Bahwa pemahaman atas Hadits atau Al-Qur’an yang mengarah pada kekerasan dan terorisme sudah seharusnya dikaji ulang yang lebih mengarah pada perdamaian, kerja sama, dan hormat menghormati serta pro-eksistensi.
Pasca tragedi bom di beberapa tempat, Islam dianggap keras, teroris, dan anarkis karena pelakunya selalu mengatasnamakan Islam (jihad). Bagaimana pendapat Anda?
Menurut saya, stigma seperti itu wajar tapi berlebihan. Wajar karena logika publik cenderung suka menghubungkan dengan latar belakang simbol keagamaan dalam melihat kasus di negeri mayoritas Muslim. Pendek kata, banyak kalangan yang suka melakukan kriminalisasi agama. Agama dan kaumnya selalu dikambinghitamkan. Padahal, tidak semua penganut agama itu sama. Bahkan, manusia di dunia ini, bukankah tidak sama? Inilah saya katakan wajar, tapi berlebihan. Karena itu, seharusnya melihat aktor bom bunuh diri juga harus dilihat dalam relasi politik dan ekonomi global sebagaimana saya terangkan sebelumnya.
Kenapa para remaja yang dijadikan alat bagi para teroris untuk dijadikan sebagai pengebom?
Dalam kajian psikologi agama, remaja adalah masa labil dan belum terlalu matang dalam memahami sebuah persoalan, termasuk agama. Kaum remaja biasanya memahami hal-hal yang cocok dan dekat dengan permasalahannya. Kontrol emosi masih perlu dijaga dan dikendalikan. Itulah salah satu realitas kondisi psikologi agama remaja. Realitas itu betul-betul dimanfaatkan pimpinan kaum teroris global untuk merekrut dan mensukseskan aksi teror di mana-mana.
Meski sudah ada yang dihukum mati, pengikut teroris ini masih saja ada, bahkan masih terus bertambah karena ada rekrutmen. Bagaimana mengantisipasi hal ini?
Antisipasinya harus ada kerja sama secara global, regional, dan lokal secara sistematis dan komunikatif. Selain itu, juga perlu adanya dialog aktif dan cara-cara yang saya utarakan sebelumnya. (arsip/cmm).
Penyunting: Nirwansyah