Mahli Zainuddin Tago
Ketua Badan Pengurus Lazismu Pusat
Jalan Kapten Piere Tendean Nomor 1B Jogja, medio 1983. Malam sudah larut. Tetapi aku bersama beberapa teman masih berkutat di dapur, di bagian belakang sekolah. Kami sedang membereskan tugas terakhir hari itu, yaitu mencuci banyak piring dan gelas. Ini adalah bagian dari tanggung jawab kami sebagai seksi konsumsi sebuah kepanitiaan. Bagiku, ini menjadi bagian dari fase awal belajar berorganisasi.
Organisasi ini adalah organisasi siswa sekolah kami SMA Muhammaidyah 1, lebih dikenal dengan SMA Muhi Jogja. Organisasi ini bernama Ikatan pelajar Muhammadiyah (IPM). Tepatnya IPM Ranting yang merupakan OSIS di sekolah kami. Sedangkan acara di mana kami menjadi seksi konsumsinya bernama Taruna Melati (TM) 1, program pengkaderan paling dasar dari IPM.
Aku memang mulai belajar berorganisasi dari level paling bawah. Diawali ketika masih siswa baru dan menjadi peserta Masa Bimbingan Anggota (MABICA). Lalu dilanjut menjadi peserta TM 1. Selanjutnya aku bergabung di Sie Kader dan Dakwah. Ini berlanjut sampai aku kelas dua SMA.
Tahun berikutnya naik level menjadi pengurus IPM Daerah tingkat kota Jogja. Di samping di IPM, aku juga menjadi pengurus IPMK (Ikatan Pelajar Mahasiswa Kerinci) Jogja. Di sini aku menjadi Seksi Pelajar di antara para pengurus yang umumnya adalah mahasiswa. Sebagai siswa biasa-biasa saja, baik di IPM maupun di IPMK, aku lebih banyak menjadi anggota pengurus. Paling tinggi jabatanku adalah Koordinator Seksi. Tidak pernah sampai pada level pengurus harian.
Tetapi aku menikmati semua proses ini. Banyak pengalaman hidup yang aku dapatkan dan menjadi dasar mengarungi kehidupan. Keaktifan ini juga menjadi katarsis dari kesulitan ekonomi yang mulai menyergapku pada masa-masa penuh tantangan ini. Menariknya, melalui organisasi ini aku bisa berkenalan dengan banyak tokoh.
Pada suatu kesempatan aku mejemput ketua LBH Jogja, Artijo Alkostar S.H, mengisi kajian di sekolahku. Belakangan, beliau dikenal sebagai pejuang hukum yang sangat tangguh di negera ini. Pada kesempatan lain aku mendampingi penceramah pengajian. Tema kajian enteng-entengan atau ringan-ringan saja. Akan tetapi, pengajian beliau sangat memukau. Enak didengar karena beliau bersuara bariton dan disampaikan dengan sangat humoris. Beliau saat itu merupakan ketua Pimpinan Pusat Muhammadyah. Lebih popular dengan nama Pak AR.
Setelah selama lima tahun kuliah dan menjadi aktivis mahasiswa di Solo, pada 1991 aku masuk kembali ke Jogja. Ketika melanjutkan aktivitas di lingkungan Muhammadiyah, aku berangkat dengan kesadaran bahwa aku masuk sarang kader. Maka aku tidak boleh membawa status sebagai alumni Pondok Shabran yang merupakan sekolah kader tingkat nasional.
Di Jogja, sebagai ibukota Muhammadiyah berkumpul para aktivis ortom Muhammadiyah dari berbagai level: ranting, cabang, daerah, wilayah, dan pusat. Aku harus tahu diri. Lima tahun sebelumnya aku hanyalah tukang cuci piring dan anggota seksi atau departemen. Maka aku tidak memasalahkan posisiku dalam organisasi. Menjadi pengurus harian atau menjadi anggota biasa sama saja. Ibarat air yang mengalir, aku nikmati saja ke mana nasib membawaku selama menjadi aktivis Persyarikatan.
Tidak menuggu lama, aku terhubung kembali dengan teman-teman sesama aktivis IPM lima tahun sebelumnya. Sebagian dari mereka kini menjadi pengurus Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PM) DIY. Maka, aku dimasukkan di tengah periode ke gerbong kepengurusan PW PM DIY. Pada sisi lain, nasib baik membawaku menjadi dosen di Fakultas Dakwah UMY. Dekannya Pak Abuseri Dimyati.
Dulu ketika di IPM Ranting aku mengikuti program Mubaligh Hijrah yang diselenggarakan Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan beliau adalah ketuanya. Kedekatanku bertambah karena beliau menjadi dosen kami di Pondok Shabran. Ketika aku masuk UMY, Pak Abuseri sedang menjadi ketua Majelis Pustaka PP Muhammadiyah. Aku lalu diajak bergabung di tengah jalan menjadi pengurus majelis ini. Pada periode 1995-2000, aku lanjut di majelis yang sudah berubah nama menjadi Lembaga Pustaka dan Dokumentasi ini. Ketuanya Pak Ahmad Adaby Darban.
Lalu sejak tahun 2000, selama tiga periode berikutnya aku bergabung ke dalam Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. Di sini rupanya kiprahku perlahan naik. Awalnya aku direkrut ketuanya Prof. Yunahar Ilyas menjadi wakil sekretaris untuk periode 2000-2005. Posisi ini bertahan pada periode 2005-2010 ketika ketuanya adalah Pak Syukriyanto, putera Pak AR yang aku kenal saat di IPM Ranting dulu.
Lalu pada periode 2010-2015 aku menjadi sekretaris mendampingi dr. Agus Sukaca yang menjadi Ketua Majelis Tabligh. Mas dokter Agus ini sudah aku kenal sejak di IPM Ranting. Beliau waktu itu menjadi Ketua PW IPM DIY. Dalam perjalanannya beliau hijrah ke Kaltim, menjadi Ketua PWM, dan sukses mengembangkan Muhammadiyah di sana. Hal ini nampaknya membuat beliau ditunjuk menjadi Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah.
Pada periode 2015-2020, amanat baru datang mengejutkanku. Sebenarnya aku masih berharap tetap bisa berkiprah di Majelis Tabligh. Sebagai anggota biasa saja sudah membahagiakan aku. Tetapi aku ditugaskan menjadi Wakil Ketua Lembaga Amil Zakat Infak Shadaqah Muhammadiyah (LAZISMU). Ini tentu sesuatu yang tidak mudah bagiku.
Pertama, harus belajar dari dasar terkait pengelolaan dana zakat, infaq, dan shadaqah. Padahal selama tiga periode sebelumnya aku tidak banyak bersentuhan dengan persoalan ini. Kedua, LAZISMU berkantor di Jakarta. Tepatnya di Jalan Menteng Raya Nomor 62. Biasa disingkat Menara 62. Sedangkan sehari-hari aku bekerja di UMY yang berada di Jogja. Akan tetapi, karena sejak dari IPM Ranting dulu dilatih untuk siap ditugaskan di mana pun, termasuk mencuci piring, maka, bismillah, aku menjalani amanat baru ini.
Maka aku mulai sering hadir di Menara 62. Di sini aku kembali menempatkan diri sebagai pendatang baru yang harus banyak belajar dari para aktivis yang sudah malang melintang di ibukota. Ternyata aktivitas di LAZISMU tidak kalah menarik. Aku menjadi wakil ketua yang mana ketuanya adalah Hilman Latief, temanku sendiri sesama dosen UMY dan sekretarisnya adalah Andar Nubowo yang kini berdomisili di Jakarta.
Dua anak muda ini adalah figur luar biasa. Mereka aku kenal terutama ketika kami bersama Pak Said Tuhuleley mengelola “Majalah Media Inovasi UMY” dan “Majalah Pendidikan GERBANG”. Mereka sama-sama lulusan universitas hebat di Eropa. Hilman doktor alumni Utrech Belanda dan Andar alumni S2 Sorbonne Perancis. Mereka mengelola LAZISMU dengan sangat baik. LAZISMU mengalami kemajuan demi kemajuan sehingga makin memperoleh kepercayaan dari masayarakat.
Ada banyak program menarik kami gerakkan dari Menara 62. Untuk itu, kami banyak berkolaborasi dengan berbagai pihak terutama majelis, lembaga, dan ortom Muhammadiyah. Kerja sama yang baik juga dijalin dengan pihak pemerintah di mana pun program dijalankan. LAZISMU juga menjalankan program-program internasional. Kami membantu para pengungsi Rohingya dan membangun sekolah Palestina di Beirut.
Program lain yang tidak kalah menarik adalah Klinik Apung Said Tuhuleley (KAST). Suatu saat aku menjadi PIC program ini. Ini menghantarkan aku berkeliling pedalaman pulau Haruku, Saparua, Seram, dan Boano di Maluku. Dalam Ekespedisi Zakat 2018 dengan sponsor BAZNAS, selama tiga kali KAST berkeliling Maluku. Salah satu programnya adalah bantuan untuk rumah ibadah. Untuk itu kami juga memasang solar cell untuk sebuah gereja di pedalaman pulau Seram. Ini juga menjadi pengalaman pertamaku masuk gereja.
Tetapi pada pertengahan periode, Andar tidak bisa lagi intensif sebagai sekretaris LAZISMU. Dia harus berangkat ke Perancis menyelesaikan studi doktoralnya. Aku yang baru belajar ber-LAZISMU tiba-tiba diamanati menjadi penggantinya. Ini tentu sebuah tantangan berat. Aku memang pernah menduduki posisi yang sama di Majelis Tabligh. Tetapi intensitas LAZISMU jauh lebih tinggi. Maka aku mulai membiasakan diri menjadi “orang Jakarta.”
Aku mulai merasakan dalam satu minggu dua kali pergi-pulang Jogja-Jakarta. Kadang kendaraanku menginap di Bandara Adisutjipto atau di Stasiun Tugu. Kadang aku berangkat dengan flight pertama dan pulang dengan flight terakhir. Aku pun makin terbiasa dengan Menara 62. Ketika pada Maret 2019 pandemi Covid-19, mengamuk kunjunganku ke Menara 62 otomatis berhenti. Tetapi aktivitas ber-LAZISMU malah meningkat. Hampir tiada hari tanpa Zoom Meeting. Bahkan dalam sehari bisa beberapa pertemuan.
Menara 62, Jakarta menjelang Subuh Rabu, 27-10-21. Aku terbangun ketika mobil yang kami kendarai dari Jogja sampai di depan kantor LAZISMU. Terhitung sejak pandemi, hampir dua tahun aku tidak menginjakkan kaki di sini. Aku selalu menghindar hadir offline pada semua agenda LAZISMU. Di rumah ada mertuaku yang sudah berumur 84 tahun dan cucuku yang baru berumur tiga tahun. Mereka beresiko tinggi bila terpapar Covid-19.
Namun, empat hari sebelumnya sebuah SK baru dari PP Muhammadiyah terbit. Seiring dengan Prof Hilman Latief yang dilantik menjadi Dirjen di Kementerian Agama, aku ditetapkan menjadi penggantinya sebagai Ketua LAZISMU. Aku tidak bisa lagi berlindung di balik online. Maka aku segera menuju Menara 62. Agenda pokokku adalah bertemu langsung, melepas rindu, dan konsolidasi dengan para amil eksekutif dan anggota pengurus LAZISMU yang berada di Jakarta. Tentu ini dilakukan dengan tetap menerapkan prokes yang ketat.
Tetapi ketika kembali menginjakkan kaki di Menara 62 kali ini aku terkejut. Dua karangan bunga besar terpasang gagah di depan pintu masuk kantor LAZISMU. Isinya ucapan selamat atas amanat baru untukku. Ini perlakuan yang tidak aku duga sama sekali. Nampaknya. kini aku harus terbiasa menerima realitas baru. Bahwa si tukang cuci piring itu kini sedang menjadi nakhoda sebuah kapal besar yang bernama LAZISMU dan berkantor pusat di Menara 62.
Siang itu di depan teman-teman aku curhat. Bahwa aku bukan yang terbaik. Ini ibarat tidak ada rotan akarpun jadi. Maka ucapku “kalau aku kurang tepat bantu memperbaikinya. Tetapi kalau aku benar mari kita bergerak bersama. Aku akan melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan. Kita akan lakukan akselerasi untuk periode yang singkat ini.” Iya, masa baktiku efektif hanya satu tahun. Pada akhir 2022 pengurus LAZISMU berganti, seiring hasil Muktamar Desember 2022 nanti. Insya Allah.
Penyunting: Nirwansyah