Agusliadi Massere
Komisioner KPU Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Membaca beberapa literatur tentang Pancasila dan Islam, dalam suasana yang secara psikologis masih memperingati “Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2020” saya terinspirasi, tertarik bahkan “berhasrat”—dalam makna konstruktif—untuk menuliskan dan menawarkan satu perspektif yang lahir atau merupakan sintesis atau elaborasi dari beberapa perspektif, khususnya perspektif “Demistifikasi Islam” Kuntowijoyo.
Secara psikologis saya merasakan bahwa Pancasila—sebagaimana dalam pemahaman pholosofische grondslag dan Weltanschauung—salah satunya sebagai meja statis dan bangunan ke-Indonesia-an yang berdiri di atasnya, sedang “digerogoti”. Ada upaya untuk menghancurkan bahkan untuk menggantinya. Padahal, merobohkan Pancasila sebagai meja statis sama saja merobohkan/menghancurkan Indonesia.
Pancasila dan Kapitalisme Liberalisme
Trans komunisme—meminjam istilah Mohd. Sabri (Pengurus BPIP RI) adalah termasuk yang menggerogoti bahkan inilah yang mendasari secara historitas peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Namun ada hal lain yang kurang disadari dan jarang mendapat sorotan bahwa sesungguhnya “Kapitalisme Liberalisme” adalah termasuk ideologi—yang meskipun secara terang-terangan tidak pernah melakukan gerakan dan menyuarakan untuk mengganti Pancasila—telah menggerogoti nilai-nilai Pancasila sehingga sulit menjadi spectrum dinamika kehidupan secara empirik.
Bahkan—mungkin tidak salah—jika saya mensinyalir bahwa “Kapitalisme Liberalisme” inilah yang melahirkan oligarki politik yang sedang mengganggu stabilitas demokrasi dan politik Indonesia hari ini, sehingga salah satunya yaitu “keadilan sosial” sulit tercapai sebagaimana harapan founding fathers.
Pancasila Kado Umat Islam Untuk Indonesia
Selain daripada itu, ada hal paradoks, yakni kita telah pahami bersama bahwa Indonesia adalah nation-state dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan secara historis yang melahirkan Pancasila—tidak berlebihan, jika menyebutnya—adalah mayoritas tokoh Islam atau minimal beragama Islam (dilihat dari status keagamaan para Founding Fathers). Sejatinya Pancasila harus dikenang sebagai “kado terindah” umat Islam untuk Indonesia.
Hal paradoks yang dimaksud adalah hari ini, dari tubuh Islam (tepatnya Umat Islam) ada upaya untuk menggantikan Pancasila dengan sistem Khilafah (Baca: Negara Islam). Bahkan secara langsung saya pernah mendengar dan membaca dari oknum “Pengasong” dan yang berafiliasi dengan “Pengusung”, Khilafah menilai bahwa Pemilu, Demokrasi dan Pancasila adalah “produk” haram. Pancasila sebagai Thagut.
Berangkat dari kerisauan, paradoks dan ketidaksadaran tersebut di atas, maka hati ini berhasrat—dalam makna konstruktif—untuk memahami Pancasila dan mengelaborasinya dengan Islam dalam Perspektif “Demistifikasi Islam” Kuntowijoyo (2006).
Pancasila dan Demistifikasi Islam
Ada hal yang menarik berdasarkan hasil pembacaan saya terkait “Demistifikasi Islam”, termasuk setelah saya membaca konsepsi “Negara Pancasila sebagai Dar Al-Ahdi Wa Al-Syahadah” dalam Tanfidz Resmi Muhammadiyah (2015: 59-73).
Kuntowijoyo dalam buku karyanya Islam sebagai Ilmu (2006:9) mengatakan bahwa “D.A Rinkers dari Kantoor voor Inlandsche Zaken pada 1941 (H. 1083, 35 KITLV) mengatakan bahwa umat Islam Cenderung mengadakan mistificatie agama”. Meskipun menurut Kuntowijoyo, Rinkers tidak menerangkan lebih lanjut. Namun bagi Kuntowijoyo Mistifikasi bukan hanya berlaku untuk umat Islam di Indonesia tetapi juga di dunia.
Kuntowijoyo menjelaskan ada 5 macam “mistik” (“misteri”) yang ada pada umat Islam, yaitu mistik metafisika, mistik sosial, mistik etis, mistik penalaran, dan mistik kenyataan. Dalam tulisan ini, saya tidak menjelaskan semua pengertiannya meskipun dalam buku Kuntowijoyo tersebut memberikan penjelasan yang mudah dipahami.
Mistik Kenyataan
Memperhatikan relevansi judul tulisan dan niat terhadap substansi yang ingin saya sampaikan bagi pembaca, maka saya hanya menjelaskan “mistik kenyataan”, yaitu hilangnya hubungan agama dengan kenyataan. Kenyataan sebagai konteks. Agama kehilangan kontak dengan kenyataan, realitas, aktualitas dan kehidupan. Dengan kata lain—bagi Kuntowijoyo—teks kehilangan konteks.
Dari kesadaran inilah, sehingga Kuntowijoyo memandang bahwa pentingnya “Demistifikasi” sebagai gerakan intelektual untuk menghubungkan kembali teks dengan konteks. Supaya antara teks dan konteks ada korespondensi.
Makna Korespondensipun, oleh Kuntowijoyo ditegaskan bahwa itu berasal dari bahasa latin com berarti “bersama” dan respondere berarti “menjawab”, atau bisa bermakna ada kesinambungan. Bagi saya, penegasan ini juga penting.
Lebih lanjut Kuntowijoyo, menjelaskan bahwa “Dengan demistifikasi, umat akan mengenal lingkungan secara lebih baik, baik lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan simbolis, maupun lingkungan sejarah. Mereka akan betul-betul memahami arti dari perintah Iqra.
Dalam buku Islam sebagai Ilmu ini, Kuntowijoyo menegaskan bahwa yang dimaksudkan “Demistifikasi Islam” adalah “Pengilmuan Islam”, dalam tulisan saya ini sedikit bergeser atau mengalami pemaknaan progressif dan dielaborasi dengan Pancasila. Meskipun demikian jika ditelusuri lebih dalam masih memiliki korelasi dan relevansi yang tepat.
Mungkin, bagi pengasong/pengusung khilafah (Baca: Negara Islam) membaca perspektif Demistifikasi Islam Kuntowijoyo akan mendapatkan alasan, argumentatif basis intelektual untuk semakin semangat berjuang.
Apalagi jika dihubungkan sebagaimana dijelaskan oleh Jamal al-Din Asadabadi (dikenal dengan al-Afghani, yang paling komprehensif menggagas konsep negara Islam) dalam Moeslim Abdurrahman pada bagian pengantar buku Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara (Ahmad Syafii Maarif 2017: XIV)—edisi lama: 1985—bisa dipahami bahwa konsep “negara Islam” minimal ada dua yaitu: Pertama, lemahnya umat Islam dalam menghadapi imprealisme Barat, sehingga diperlukan gerakan pan-Islamisme dan Kedua, gerakan seperti itu tidak mungkin lahir tanpa umat Islam merumuskan kembali Islam sebagai ideologi.
Jamal al-Din al-Afghani dan Demistifikasi Kuntowijoyo
Saya menilai, sekilas apa yang menjadi alasan al-Afghani, relevan dengan yang dimaksudkan Kuntowijoyo demistifikasi sebagai antitesa khususnya dalam pemahaman “mistik kenyataan”. Apa yang menjadi alasan al-Afghani untuk konsep “negara Islam”-nya relevan dengan perspektif Kuntowijoyo, teks ke konteks.
Namun dari penjelasan dan penegasan Kuntowijoyo tentang demistifikasi itu sendiri, saya selaku penulis memahami bahwa jika apa yang menjadi rumusan al-Afghani itu, untuk konteks Indonesia tentunya tidak relevan. Apalagi dengan “hasrat” untuk menggantikan Pancasila dan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.
Pancasila Sebagai Meja dan Leitstar Dinamis
Pancasila idealnya dikenang sebagai “kado terindah” umat Islam untuk Indonesia. Apalagi menerima Pancasila sebagai meja statis dan leitstar dinamis dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah merupakan sikap yang tepat jika kita memahami harapan Kuntowijoyo dalam perspektif demistifikasinya tersebut.
Kita semua, termasuk dan terutama sekali anak bangsa yang menjadi “pengasong” ideologi lain—yang bermaksud menggerogoti dan menghancurkan Pancasila sebagai Ideologi Negara—harus menyadari bahwa inti daripada Indonesia sebagai sebuah kode kebangsaan adalah “kebhinekaan”, ada banyak realitas, keragaman suku, budaya, bahasa dan agama yang terakumulasi di dalamnya.
Pancasila adalah rumusan yang sudah final oleh founding fathers yang mayoritas—berdasarkan status keagamaannya—adalah umat Islam. Pancasila juga harus dipahami bahwa kelahirannya digali dari jenius nusantara yang secara substansial memiliki karakter menyerap, membersihkan, dan menumbuhkan. Pancasila telah disepakati sebagai meja dinamis dan leitstar dinamis oleh para founding fathers.
Apalagi jika membaca konsep “Negara Pancasila sebagai darul Ahdi wa Syahada” rumusan Muhammadiyah sangat jelas bahwa Pancasila relevan dengan ajaran Islam. Selain daripada itu bisa jadi rumusan ini merupakan kontiunitas pemikiran Kuntowijoyo sebagai ilmuwan, cendekiawan dan budayawan yang lahir dari rahim Muhammadiyah.
Penyunting: Brilliant Dwi Izzulhaq