• home baru
  • JIB Talks
  • JIBPost
  • Kirim Artikel
  • Kontak Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Penulis
  • Redaksi
  • Sample Page
  • Sample Page
  • Tentang Kami
JIB Post
No Result
View All Result
No Result
View All Result
JIB Post
No Result
View All Result
Home Kolom

Momen Kontemplasi Kemanusiaan di Masa Covid-19

Redaksi JIBPost by Redaksi JIBPost
September 14, 2020
in Kolom
0 0
2
Covid-19: Peneguhan Iman terhadap Hal yang Ghaib

Ilustrasi: Suara.com

0
SHARES
0
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Musa Maliki Ph.D

Pengajar Ilmu Hubungan Internasional di UPN Veteran, Jakarta, Tokoh JIB

Masa Covid-19 adalah momentum tepat bagi kita untuk berkontemplasi atas kemanusiaan melalui pendefinisian ulang konsep manusia dalam keniscayaan modernitas. Kita semua perlu merenungkan kembali pandangan dunia dan cara hidup manusia modern. Kita perlu critical atas ‘otoritas’ manusia modern (yang mengklaim dirinya modern) dalam mendefinisikan konsep manusia.

Hal ini disebabkan, berbagai bencana dalam setting era modern saat ini bisa jadi karena ulah kita sendiri yang telah berlaku tidak adil (reduksionis) dalam mendefinisikan konsep manusia. Manusia Barat yang melahirkan modernitas telah terdoktrin oleh kesadaran palsu discourse modernitas yang mereka yakini. Sementara itu, sejak masa kolonialisme kita yang berada di dunia pinggiran (periphery) modernitas Barat telah lama terdoktrin dan akhirnya bertaklid buta terhadap definisi manusia dari filsafat modern Barat.

Tak Pernah Modern

Modernitas adalah setting bagi suatu klaim manusia modern dan definisinya. Padahal dalam penelitian Bruno Latour, We Have Never Been Modern (1993), konsep modernitas (ke-modern-an) adalah mustahil, sebab ada tiga dimensi yang mengalami kontradiksi di dalamnya dan tidak berfungsi sesuai dengan maksudnya.

Terdapat dua dimensi dikotomis yang saling memurnikan sendiri-sendiri, yakni antara dimensi alamiah (nature) dan dimensi kebudayaan (culture); yang material dan non material; scientist dan social scientist; antara naturalization dan socialization; antara science-technology dan political power; dan dimensi dikotomis lainnya. Dimensi ketiga adalah hibriditas, yang memcampuradukkan kedua dimensi dikotomis tersebut.

Dalam perkembangannya di era modern-industrialisasi, alam sudah tidak lagi alamiah dan kebudayaan manusia juga sudah mengalami penurunan, karena keberadaannya tidak terlepas dari alam yang telah terdegradasi akibat ulahnya sendiri. Misalnya, discourse sains tidak dapat dilepaskan dari discourse politik pengambilan keputusan dalam masyarakat di setiap level, baik nasional maupun global.

Singkatnya, berdasarkan pemikiran Latour, saya berargumentasi bahwa kemunculan Covid-19 tidak hanya disebabkan oleh unsur alamiah saja, melainkan terdapat unsur kebudayaan manusia yang mengintervensi alam dan lingkungan, terutama adanya peran politik ekonomi dalam membangun peradaban manusia melalui eksploitasi alam dan lingkungan yang melampaui batas.

Semakin tinggi harapan atas ke-modern-an diperjuangkan dan berusaha diwujudkan, maka manusia akan semakin teratomisasi, termaterialkan dan terasingkan, tidak hanya dari kehidupan sosialnya melainkan juga dari kemanusiaannya itu sendiri.

Eksistensi manusia yang multidimensi ‘dibunuh’ oleh modernitas menjadi satu dimensi saja (Marcuse, 2006). Proses ini merupakan dehumanisasi yang ingin membentuk manusia menjadi makhluk ekonomi (homo economicus) untuk membangun masyarakat ekonomi.

Pada proses ini partisi ingin diciptakan dalam diri manusia, yaitu antara aspek sains dan teknologi dengan aspek sosial dan religius, tetapi kenyataannya hal ini mustahil terjadi. Kedua hal tersebut berkelindan dalam dimensi kultural ekonomi dan politik masyarakat dalam konteks pertumbuhan ekonomi negara.

Kuatnya masyarakat-negara dalam perjuangan politik ekonomi dan adanya saintifikasi dan teknologisasi manusia di dalamnya, serta intervensi secara mendalam kedua konteks tersebut terhadap yang alamiah membuat modernitas yang diharapkan mustahil terwujud. Kepentingan politik demi pengaturan masyarakatnya membuat sains dan teknologi dimanfaatkan untuk mengontrol manusia itu sendiri dan alam semesta.

Politisasi demi kepentingan segelintir orang/para pemilik modal dan negara membuat kontrol tersebut melampaui batas dan menciptakan ketidakseimbangan antarmanusia dan antarmanusia dengan alam. Keunikan ‘modernitas’ adalah, keengganan ‘kaum modern’ (modernitas) mengakui bahwa pemurnian dan hibriditas ada di dalamnya. Hal inilah yang membuat kaum modern pada faktanya hidup dalam ilusi modernitas.  

Anthropocene

Anthropocene adalah suatu era yang memperlihatkan intervensi manusia atas alam. Sejak filsafat modern menjadi fondasi peradaban modern, manusia telah mengubah ekosistem alam semesta. Sudah banyak penelitian yang mengilustrasikan anthropocene, khususnya yang dikaitkan dengan kasus global warming dan climate change.

Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan beberapa karya saja sebagai representasi dari seluruh karya tersebut secara sederhana untuk menghindari penjelasan yang terlalu teknis dan rumit. Tujuannya ialah agar pesan utamanya dapat tersampaikan: Covid-19 merupakan bagian dari permasalahan global warming dan climate change, yang kesemuanya adalah eksternalitas sistem yang diciptakan manusia akibat eksploitasi alam yang melampaui batas.

Anthropocene terdiri dari kata anthropo yang artinya manusia dan cene yang artinya era atau zaman. Anthropocene adalah era dimana manusia melakukan intervensi terhadap biosphere(biodiversity) dan sistem bumi atau geologi. Hal itu dipaparkan dalam penelitian Christophe Bonneuil dan Jean-Baptiste Fressoz, the Shock of the Anthropocene: the earth, history, and us (2013).

Lebih lanjut mereka menjelaskan, bahwa ada peristiwa penting yang terjadi dalam konferensi “The International Geosphere-Biosphere Programme” pada Februari 2000 di Meksiko, yaitu lahirnya sebuah era baru yang disebut anthropocene. Anthropocene adalah suatu epoch manusia yang secara intensif mempengaruhi perkembangan planet (bumi). Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Paul Crutzen, ahli atmospheric chemist dan peraih nobel Kimia pada 1995, yang mengerjakan penelitian tentang lapisan ozon.

Bonneuil dan Fressoz juga berpendapat, bahwa degradasi lingkungan, pemanasan global, efek rumah kaca, dan penurunan keanekaragaman hayati disebabkan oleh industrialisasi (pertanian dan urbanisasi). Kerusakan kehidupan laut dan berubahnya proses kimia laut merusak ekosistem laut yang selanjutnya mempengaruhi ekosistem alam semesta, termasuk kepunahan ribuan spesies di alam semesta (Bonneuil & Fressoz, 2016).

Penelitian ini juga menjelaskan secara meyakinkan bahwa transformasi radikal lingkungan di sungai, laut, dan daratan oleh pasar dan teknologi membuat spesies selain manusia atau non-humans–khususnya virus–mengalami perubahan yang fundamental dalam sejarah dunia. Kondisi krisis lingkungan akibat pasar dan teknologi merupakan salah satu konsekuensi modernitas yang tak terduga dan tak diperhitungkan (Bonneuil & Fressoz, 2016).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Christian Schwägerl menunjukkan, bahwa transformasi radikal terjadi karena lalu lintas manusia dan barang di dunia menjadi semakin mudah. Hal ini dimulai dari dibukanya jalur sutra antara Asia dan Eropa serta jalur Eropa dan Amerika yang membuat manusia memperdagangkan, termasuk tanpa disengaja membawa tanaman, hewan, bakteri, virus, dan lain-lain ke antarwilayah atau lintas negara.

Pergerakan manusia yang membawa spesies dari satu habitat ke habitat lain memberi pemahaman bahwa manusia tidak peduli dengan keseimbangan ekosistem dunia. Hal ini akan mengubah bahkan dapat merusak ekosistem, khususnya spesies-spesies endemik yang evolusinya sudah ada sejak manusia belum ‘ada’ (mengintervensi).

Semua hal itu semakin diperumit dengan rekayasa genetika dan bahan kimia yang disuntikkan ke dalam binatang dan tanaman yang dikonsumsi manusia (Schwägerl, 2014). Kemurnian alamiah dan kemurnian kultur aktivitas manusia di sisi lain menjadi mustahil pada era anthropocene.

Penelitian Clive Hamilton, Christophe Bonneuil, dan François Gemenne (2015) menjelaskan, bahwa krisis lingkungan menjadi sangat masif ketika manusia mulai menggunakan bahan bakar fosil yang tak bisa diperbarui. Hal itu diketahui melalui sains sistem bumi. Pendekatan sistem bumi dipahami dalam perbedaan spheres(lithosphere, hydrosphere, cryosphere, biosphere and atmosphere).

Pendekatan ini menunjukkan bahwa planet bumi secara keseluruhan, mulai dari inti hingga di atas permukaannya, mengalami kerusakan akibat intervensi manusia yang telah melampaui batas. Kerusakan ragam sphere ini membutuhkan cara berpikir baru melampaui ‘modernitas’ yang bukan cara berpikir modern kapitalistik.

Selain dipahami dalam konteks sejarah geologis atau sistem bumi, anthropocene juga dipahami dalam konteks pengaruh manusia atas planet bumi. Pengaruh manusia, antara lain tampak dari transformasi lanskap, urbanisasi, kepunahan spesies, ekstraksi bahan bakar fosil, produksi sampah yang sulit dihancurkan serta disrupsi proses alam, seperti sirkulasi nitrogen dan sumber kimia lainnya (Hamilton, Bonneuil & François Gemenne, 2015).

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Elaine Gan, Anna Tsing, Heather Swanson, dan Nils Bubandt menjelaskan, bahwa sistem biologi di alam semesta dimetaforkan seperti pohon yang bagian-bagiannya dari atas sampai ke bawah saling terkait satu dengan yang lainnya. Dalam sistem itu, manusia bukan lagi dipahami sebagai individu, tetapi sebagai bagian dari sistem besar biologi.

Oleh sebab itu, perubahan pada beberapa spesies akan mengubah semua sistem yang ada. Pada era anthropocene ini terjadi kemunculan berbagai macam virus yang disebabkan oleh perubahan sistem biologi ekosistem alam (Gan, Tsing, Swanson & Bubandt, 2017).

Hal di atas diperparah dengan propaganda politisi dunia dan para kapitalis bahwa climate change dan global warming adalah hoax. Dalam rezim (politik) lingkungan, Amerika Serikat mengumumkan mundur dari rezim Perjanjian Paris pada 2017. Amerika Serikat adalah penyumbang emisi global terbesar kedua setelah China, namun perekonomiannya terancam menurun drastis jika tetap melanjutkan Perjanjian Paris.

Pada titik ini, politik berhadapan dengan sains. Para politisi berargumen bahwa krisis lingkungan ialah hal yang normal dalam evolusi alam semesta (Latour, 2015). Propaganda semacam ini menjadi amat berbahaya bagi keberlangsungan umat manusia dan alam semesta.   

Dari seluruh penelitian di atas, saya membuahkan hipotesa bahwa virus SARS-CoV-2 muncul karena ulah manusia yang telah melampaui batas. Intervensi manusia terhadap sistem bumi dan ekosistem serta lingkungan secara keseluruhan telah menghasilkan virus yang mengglobal juga. Logika orang awam, deforestasi saja telah menyebabkan binatang di hutan seperti harimau dan gajah keluar dari habitatnya ke daerah yang didiami manusia.

Peneliti biologi evolusioner, Rob Wallace berargumentasi bahwa virus muncul dari proses evolusioner dan proses perpindahan (migrasi), khususnya migrasi hewan secara geografis (lintas wilayah). Virus SARS pertama kali muncul di Guangdong, China pada 2003 melalui proses perpindahan hewan. Bisnis besar industri peternakan dalam setting kapitalisme global melahirkan penyakit virus yang besar seperti SARS (Wallace, 2016).

Setelah SARS, lahirlah generasi baru yaitu SARS-CoV-2 yang juga muncul di Wuhan, China pada 2019. Bagi Rob Wallace, kemunculan SARS-CoV-2 dikarenakan perkembangan industri pertanian dan peternakan besar-besaran dan deforestasi. Masalahnya, pemerintah dan ilmuwan amat sedikit memperhatikan hal tersebut.

Kompleksitas dan fungsi keberagaman hayati dirusak oleh proses modernisasi, sehingga berbagai macam penyakit keluar menuju peternakan besar dan populasi manusia yang besar. Menurut dia, kota-kota besar adalah pusat sasaran penyakit menular, seperti New York, London, dan Hong Kong pada penularan SARS-CoV-2. Seluruh hal itu terjadi dalam setting besar proyek neoliberal, khususnya dalam industri agrobisnis yang menjadi biang keladinya (Wallace, 2020 dalam www.marx21.de).

Singkatnya, intervensi manusia telah membuat transformasi lingkungan yang tidak terpikirkan sebelumnya, seperti munculnya berbagai tipe virus corona, seperti SARS dan SARS-CoV-2. Kemunculan virus ini seperti daya tangkal alam semesta atas proyek neoliberal yang telah melampaui batas kemampuan planet bumi.

Hanya saja, mesin besar kapitalisme begitu sulit dihentikan. Penyakit Covid-19 harus menjadi kondisi sementara, sebab mesin kapitalisme global harus tetap bergerak. Semua negara berlomba-lomba untuk menemukan vaksinnya terlebih dahulu demi menyelamatkan umat manusia. Namun, kepentingan bisnis kapitalisme juga tidak luput menjadi daya dorong kuat untuk menemukan vaksin tersebut.

Penyakit Covid-19 memberi tanda agar umat manusia sadar dan berpikir. Dua atau empat minggu lockdown saja telah mengguncang sistem perekonomian dan membuat sistem sosial kolaps. Covid-19 tidak bisa memaksa sistem perekonomian neoliberal terus berhenti atau ber-hibernasi, sebab pengangguran terus meningkat, ketahanan pangan terancam, perusahaan bangkrut, negara kehabisan uang, dan sebagainya. Covid-19 membuktikan bahwa kasus seperti global warming dan climate change kembali terulang; negara dan para kapitalis akan berpihak pada rezim neoliberal (kapitalisme global) dibandingkan rezim lingkungan.

Sains dan Akhlak

Bagi saya, modernitas dan harapan-harapan idealnya menjadi tidak penting karena modernitas faktanya utopis atau mitos. Modernitas adalah pengandaian-pengandaian abstrak proyek filsafat Barat yang terus direproduksi. Padahal faktanya, modernitas adalah doktrin atau kepercayaan manusia modern sebagai suatu wadah eksistensi diri untuk tetap hidup di tengah kecemasan hidup dan kekeringan hidup.

Selama ini, dalam diskusi akademis, sains dan agama jarang sekali sejalan atau bahkan justru dibenturkan. Padahal, agama yang berisi pandangan moral, etika, spiritual atau dalam satu paket dinamakan akhlak merupakan kompas dari sains.

Sedangkan dalam pandangan filsafat Barat, sains harus bebas nilai, obyektif, dan bersumber dari silogisme, verifikasi, dan falsifikasi. Sains tidak mengenal Tuhan, sebab sains harus terbukti empirik dan terus menerus diuji kebenarannya agar dapat berlaku umum.

Dalam mitos modernitas, sains disekulerkan, yakni dipisahkan dan juga dibenturkan dengan agama. Dunia Barat tidak lagi critical terhadap dirinya, karena mitos modernitas, sekulerisme menjadi doktrin tertutup dalam memandang dunia (worldview). Di dalamnya, sains menjadi suatu ‘kepercayaan’ baru atas nama kemanusiaan.

Manusia diberi kebebasan untuk menggunakan akal/rasionalitasnya dalam menentukan dirinya sendiri. Manusia menjadi pusat dunia dalam memandang dunia (anthropocentrism). Hal ini memberi konsekuensi, dunia dan keuntungannya hanya diperuntukkan bagi manusia semata. Sedangkan alam semesta seperti hewan, tumbuhan, bumi, dan planet secara keseluruhan menjadi obyek penderita untuk memuaskan hasrat manusia. 

Oleh sebab itu, sains harus diberi kompas berupa nilai-nilai kemanusiaan yang berbasis dari agama, tradisi spiritual atau filsafat moral tertentu. Kemanusiaan tidak terlepas dari tradisi agama dan spiritualisme, tetapi modernitas telah memisahkan unsur tersebut dari sains atas dasar kemanusiaan versi Barat (humanisme Barat).

Modernitas hadir karena kemanusiaannya telah dilukai, direndahkan, dan direduksi oleh agama Kristen dalam sistem Holy Roman Empire. Sejarah tersebut menjadi titik awal sains tanpa dasar nilai-nilai agung, moral, dan keagamaan yang berbahaya yang menjadikannya alat kekuasaan para pemilik modal.

Hal itu juga sama ketika agama dipisahkan dari nilai agama itu sendiri demi kepentingan kekuasaan atau komodifikasi. Misalnya, sebagian pemuka agama menyiarkan religiusitas keagamaan demi hasrat ekonomi atau hasrat politik praktis dan bukan demi nilai-nilai keagamaan tersebut seperti keadilan, kesetaraan, dan penghormatan atas alam.

Dalam tradisi spiritualisme Ke-Timur-an seperti Buddha, Hindu, Jawa, dan Islam, kehidupan umat manusia di-discourse-kan harmonis dengan alam. Tradisi scripture Islam yang saya ketahui, Allah telah mengingatkan kepada umat manusia sebagai pengikut sifat-sifat Allah (khususnya Rahman dan Rahim) atau khalifatullah, untuk menjaga (dan respect) terhadap alam.

Ada hikmah yang sifatnya self-critical dari surat QS. ar-Ruum: 41: “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Narasi firman Allah ini memberi pelajaran prinsipil dan bukan teoritis, yaitu bahwa sepanjang zaman manusia, umat manusia harus selalu kritis terhadap dirinya. Karena, begitu rentan dari sifat alamiah perlakuan tidak adil, rakus, egoisme, arogan, rasis, dan ignorance.

Surat al-Baqarah: 30 menggambarkan terjadinya dialektika antara Allah dan malaikat. Dalam proses dialektika ini, malaikat secara kritis bertanya kepada Allah mengapa Allah menciptakan makhluk yang akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi ini. Jawaban Allah ialah, “Saya tahu apa yang kalian tidak ketahui”. Surat ini memberi tanda (ayat/sign) kepada umat manusia, bahwa manusia pada dasarnya mempunyai pertempuran sendiri di dalam dirinya, apakah akan merusak atau melestarikan alam.

Surat al-An’am: 38 bercerita, bahwa semua makhluk di muka bumi ini adalah bagian dari komunitas manusia, sehingga alam semesta perlu diperlakukan dengan baik. Manusia akan diminta pertanggungjawabannya atas semua nikmat yang ada di muka bumi ini yang telah Allah berikan (QS. al-Takatsur: 8).

***

Manusia adalah bagian dari alam semesta. Oleh sebab itu, manusia harus hidup berdampingan dengan spesies/makhluk lainnya dan harus menghormati seluruh makhluk termasuk alam semesta. Semesta adalah wujud dari Allah Sang Pencipta. Oleh sebab itu, sekecil apapun perlakuan manusia di muka bumi ini akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Kesadaran ini tidak hanya ada di dalam scripture Islam, tetapi juga di dalam agama dan tradisi spiritual lainnya.

Modernitas adalah jalan hidup yang tertutup atas klaim-klaimnya sendiri, sedangkan tradisi keagamaan dan spiritual justru bersikap kritis atas sifat dasar manusia itu sendiri. Modernitas mengabsolutkan akal dan sains, sedangkan tradisi keagamaan dan spiritual justru menganggap dunia dan diri manusia ini adalah relatif dan fana karena yang absolut dan abadi adalah Allah (Tuhan/the Divine Reality).

Akhlak adalah wujud dari spiritualisme manusia dalam menjaga dirinya yang rentan dan korup dari penyelewengan dan penyimpangan seperti yang dilakukan manusia neoliberal. Manusia modern telah melakukan kerusakan di muka bumi demi pemenuhan kerakusannya (materialism).

Manusia modern terpacu oleh pandangan hidup materialistik dan hasrat libinalnya demi mengisi kekosongan (kegelisahan) hidup yang seharusnya diisi oleh spiritualisme yang ditampilkan dalam wujud akhlak yang baik. Baik itu antarmanusia maupun manusia dengan alam semesta. Menarik untuk mengutip Sayyed Hossein Nasr, “God will judge us in the future on whether we are able to live in harmony and peace with the rest of his creation or commit suicide. There is no third choice.” (Nasr, 2020)

Covid-19 adalah momen penting bagi manusia kekinian untuk critical atas dirinya sendiri, yakni menata diri untuk paham bahwa yang absolut adalah the Divine Reality (Allah) dan dirinya adalah relatif (contingent dengan alam semesta).

Kehadiran kesadaran kritis (secara internal) manusia seharusnya memberi etika (akhlak) yang baik dalam mengembalikan kemanusiaannya ke dimensi spiritual dan penghormatan atas alam sebagai bagian dari ekosistem alam semesta. Namun, saya pesimis terhadap sikap ignorance manusia yang mengklaim dirinya modern sebab doktrin sekulerisme telah membutakan manusia modern. Manusia modern telah bangga dan percaya atas sains secara absolut sebagai kemanusiaannya dibandingkan tradisi scripture agama dan spiritualisme. Di sini manusia bergerak terus ke dalam jurang ‘kematian’ (dalam pengertian yang luas).

Sumber Buku JIB: Wajah Kemanusiaan di Tengah Wabah (2020)

Penyunting: Nirwansyah

Post Views: 1
Tags: Covid-19kemanusiaan
Previous Post

Bangsa ini Bisa Oleng: Buya Syafii Maarif ke Presiden Jokowi

Next Post

Haedar Nashir: Utamakan Persatuan Nasional Menghadapi Pandemi dan Masalah Bangsa

Next Post
TNI Milik Indonesia

Haedar Nashir: Utamakan Persatuan Nasional Menghadapi Pandemi dan Masalah Bangsa

Comments 2

  1. Ping-balik: Fitrah sebagai Negarawan - JIB Post
  2. Ping-balik: Ni Wayan Idawati - JIB Post - Mencerahkan Semesta

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent Posts

  • Jelang Kepulangan Gelombang Kedua, Stafsus: Petugas Harus Tetap Fokus dan Semangat!
  • Menelisik Musabab Kesembuhan dari Covid-19
  • Kabinet DPP LIRA Resmi Dilantik, Presiden LIRA: LIRA Terus Konsisten Menjadi Jembatan Rakyat-Pemerintah
  • Amirul Hajj Gelar Rapat Evaluasi, Menag: Siapkan Haji 1444 H Sejak Awal
  • Maarif Institute Gelar Acara Halaqah Kebangsaan Mengenang dan Melanjutkan Warisan Buya Syafii Maarif

Recent Comments

  1. Lila S mengenai Wacana Penundaan Pemilu 2024, Azyumardi Azra: Mahasiswa dan BEM kok Diam Saja, Ini Menyedihkan dan Membahayakan
  2. Jenny Chatab mengenai Islam tentang Perbedaan Pendapat
  3. JIB Post - Mencerahkan Semesta JIB Post - Mencerahkan Semesta mengenai Buya Syafii: Mendewakan Seseorang Berdasarkan Keturunan adalah Perbudakan Spiritual
  4. JIB Post - Mencerahkan Semesta JIB Post - Mencerahkan Semesta mengenai Angkatan Muda Muhammadiyah Tingkat Pusat Tuntut GAR ITB Minta Maaf Soal Tuduhan Radikalisme Din Syamsuddin
  5. JIB Post - Mencerahkan Semesta JIB Post - Mencerahkan Semesta mengenai Azyumardi Azra: Abdsurd Melaporkan Din Syamsuddin Radikal

Archives

  • Juli 2022
  • Juni 2022
  • Mei 2022
  • April 2022
  • Maret 2022
  • Februari 2022
  • Januari 2022
  • Desember 2021
  • November 2021
  • Oktober 2021
  • September 2021
  • Agustus 2021
  • Juli 2021
  • Juni 2021
  • Mei 2021
  • April 2021
  • Maret 2021
  • Februari 2021
  • Januari 2021
  • Desember 2020
  • November 2020
  • Oktober 2020
  • September 2020
  • Agustus 2020

Categories

  • Info
  • JIB Talks
  • Kolom
  • Komentar
  • Memori
  • Obituari
  • Pojok Buya
  • Profil
  • Uncategorized
  • home baru
  • JIB Talks
  • JIBPost
  • Kirim Artikel
  • Kontak Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Penulis
  • Redaksi
  • Sample Page
  • Sample Page
  • Tentang Kami

© 2022 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • home baru
  • JIB Talks
  • JIBPost
  • Kirim Artikel
  • Kontak Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Penulis
  • Redaksi
  • Sample Page
  • Sample Page
  • Tentang Kami

© 2022 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
JIB Post