Muhammad Dwifajri
Dosen FISIP UHAMKA
HAMKA adalah seorang pembelajar yang luar biasa. Pada 17 Februari kemarin merupakan hari kelahirannya. Ilmu yang ia serap dan khotbah-khotbah yang disampaikannya, didapatkan secara mandiri. Ini adalah keunggulan pribadi HAMKA. Di tengah keterbatasan akses terhadap buku, HAMKA justru tetap dalam semangat belajar.
Cara HAMKA belajar menjadi kritik dan nasihat terhadap dunia pendidikan saat ini, terutama pada para peserta didik tentang motivasi belajar. HAMKA dengan keterbatasan akses membuktikan bahwa menjadi pembelajar membutuhkan etos. Berbeda dengan saat ini, dengan akses internet yang mudah dan buku yang mudah dijangkau, ternyata belum bisa menjadi motivasi pembelajaran yang baik, justru malah menjadi jalan untuk mengakses situs-situs yang tidak layak.
Kenyataan yang ironis ini tentu saja tidak mungkin dibiarkan, bukan saja merugikan peserta didik, karena menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Lebih dari, hal tersebut sama saja dengan membiarkan aset bangsa dan agama menjadi kurang terpelajar. Padahal masa depan bangsa dan agama ada di tangan mereka.
Daya Tarik HAMKA
Selain autodidak, daya tarik dan kelebihan HAMKA adalah pada kekuatan pribadi. Orang yang pandai dan menguasai berbagai khazanah ilmu pengetahuan keislaman dapat dengan mudah ditemukan, tetapi yang memiliki kekuatan pribadi sebagaimana HAMKA, tidak dengan mudah ditemui. Kekuatan pribadi HAMKA muncul karena kesesuaian antara ucapan dan tindakan—kata dan laku. Sehingga Ridwan Saidi mengatakan:
“Vocal presentation HAMKA sangat prima. Warna suara (timbre) yang dimiliki sedikit parau. Tetapi di situ letak enaknya. Orang mengatakan serak-serak basah. Intonasinya ritmik, macam orang bernyanyi. Kata-kata yang meluncur dari lidahnya lancar dan diucapkan dengan benar. Usia tidak membuat lidahnya pelat (cadel/pelo). Inilah suara kalbu. Gerak motoriknya tidak bertentang dengan detak kalbunya ketika memformula ide yang hendak dikatankan. Ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang konsisten dalam menjalankan kehidupan.”
HAMKA hadir di tengah masyarakat yang membutuhkan orang seperti dirinya. Dan HAMKA hadir di saat yang tepat. Selain HAMKA, orang yang berkarya dan berkiprah seperti beliau juga banyak, tetapi orang yang berkarya dan berkiprah dan memberi kesan yang mendalam, tentu tidak banyak. Dalam konteks inilah, Taufik Abdullah seorang sejarawan senior, saat menuliskan tentang kekuatan pribadi HAMKA berkata:
“Tidak ada mungkin yang akan membantah kalau dikatakan bahwa novel Buya HAMKA bukanlah novel yang terbaik yang dihasilkan oleh sastrawan Indonesia. Tetapi berapa banyak kah novel dalam bahasa Indonesia yang sampai kini, setelah sekian puluh tahun berlalu, masih dibaca dan juga masih termasuk kategori in print artinya masih bisa dibeli di toko buku? Mungkin Buya bukan pula seorang pemikir dan penulis masalah keagamaan yang terdalam, tetapi siapa sajakah yang telah berhasil menulis masalah keagamaan yang tulisannya sampai sekarang masih diminati khalayak yang ingin ditujunya?
Begitulah HAMKA, hadir tidak sekadar membawa ilmu, dalam istilah pendidikan, transfer of knowledge. Lebih dari itu, ia membawa uswah hasanah atau transfer of personality sehingga mereka yang pernah bersamanya dan yang membaca karya-karyanya seolah terbawa bersama kualitas pribadinya yang paripurna dengan pancaran energi yang luar biasa.
Pendidikan Integral Tawaran HAMKA
Merujuk pada perjalan hidup, baik yang tampak pada karya tulisnya maupun kiprahnya di lembaga pendidikan, menunjukkan bahwa HAMKA, selain seorang ulama, dai, pujangga, juga merupakan seorang pemikir pendidikan sekaligus pernah terlibat dalam dunia pendidikan. Bagi HAMKA, pendidikan adalah serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik. Karena itu, dengan pendidikan hendaknya peserta didik mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Selain itu, pendidikan pun hendaknya tidak hanya diorientasikan pada materi-duniawi. Karena hal itu, bagi HAMKA, tidak akan membawa kepada kepuasan batin. Pendidikan harus didasarkan kepada kepercayaan bahwa di atas kekuasaan manusia ada lagi yang lebih berkuasa, yaitu Allah SWT. Karena itulah meski sudah modern, hendaknya lembaga pendidikan tidak melupakan agama. Bagi HAMKA, kecerdasan otak tidak cukup untuk menjadi penjamin keselamatan tanpa ada agama yang menjadi fondasinya.
HAMKA, dalam konteks ini mencoba membangun proses pengajaran dan pendidikan dalam sebuah pemahaman yang integratif. Dalam pandangannya, proses pendidikan tidak hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat material-duniawi. Karena menurutnya, pendekatan ini tidak akan membawa manusia kepada kebahagiaan rohani. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat mengintegralkan potensi fitrah-Nya yang tinggi dengan potensi akal pikiran, perasaan, dan sifat-sifat kemanusiaannya yang lain secara serasi dan seimbang.
Di samping itu, fungsi pendidikan bukan saja sebagai proses pengembangan intelektual dan kepribadian peserta didik. Akan tetapi, juga proses sosialisasi peserta didik dengan lingkungan di mana ia berada. Secara inheren, pendidikan merupakan proses penanaman nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan kepada peserta didik untuk menyatakan pikiran serta mengembangkan potensi dirinya secara total. Dengan kata lain, pendidikan (Islam) merupakan proses transmisi ajaran Islam dari generasi ke generasi berikutnya. Proses tersebut melibatkan tidak saja aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik.
Pendidikan Agama
Menurut HAMKA, untuk membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian paripurna, maka eksistensi pendidikan agama merupakan sebuah kemestian untuk diajarkan. Meskipun pada sekolah-sekolah umum, di mana dalam dataran operasional prosesnya tidak hanya dilakukan sebatas transfer of knowledge. Akan tetapi, jauh lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampu membuahkan suatu sikap yang baik (akhlak al-karimah), sesuai dengan pesan nilai ilmu yang dimilikinya.
Lembaga pendidikan agama yang tidak mampu membina dan membentuk peserta didik berkepribadian paripuma, samalah kedudukannya dengan lembaga pendidikan umum yang sama sekali tidak mengajarkan agama, sebagaimana yang dikembangkan pada lembaga pendidikan kolonial. Akibat proses yang demikian, mereka memang berhasil melahirkan output yang memiliki wawasan keagamaan yang luas, dan fasih berbahasa agama, namun rendah budi pekertinya.
Sebagai bagian dari upaya mengetahui perkembangan peserta didik, HAMKA menganjurkan agar antara guru dan orangtua saling menyampaikan informasi tentang perkembangan anak-anak didik. HAMKA di sini tampak menekankan pentingnya komunikasi antara guru dan murid. Perkembangan anak, dalam hal ini tidak sekadar transfer of knowledge. Lebih dari itu, seluruh perkembangan anak baik kognitif, afektif, dan psikomotorik, di mana orang tua, pendidik, dan lingkungan ikut di dalamnya.
Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa HAMKA dalam konteks pendidikan mementingkan keterbukaan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Ini tampak pada modernisasi yang dilakukan HAMKA saat ia terlibat dalam pengelolaan Tablig School, baik Padang Panjang, maupun di Makassar, termasuk pula di Al-Azhar.
Keterbukaan tersebut dapat diimplementasikan saat ini dengan kemauan lembaga pendidikan untuk terus melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih dengan belajar ke lembaga-lembaga pendidikan yang unggul. Dengan begitu, lembaga pendidikan Islam akan mampu berdaya saing di tengah zaman yang terus berubah.
***
Pandangan HAMKA bahwa pendidikan harus integral, dunia-akhirat, sekolah-lingkungan-orangtua merupakan pandangan yang dapat menjadi spirit bagi perubahan dalam dunia pendidikan saat ini. Dalam hal ini, semua pihak, baik orangtua, lembaga pendidikan, dan lingkungan masyarakat hendaknya menyadari bahwa masa depan masyarakat itu tidak bisa semata-mata disandarkan hanya kepada lembaga pendidikan—termasuk di dalamnya guru.
Akan tetapi, semua pihak hendaknya menyadari bahwa sekecil apa pun peran yang dilakukan adalah besar manfaatnya bagi perkembangan masyarakat secara luas di masa yang akan datang. Dan mengabaikan hal ini sama halnya membiarkan masa depan berjalan tanpa kendali.